Malala

Malala

Kedai Ngalor-Ngidul

ada kedai penuh obrol
ibu berkemben batik jual senyum 
melalui kopi-susu: hitam-manis
ada ekonomi hinggap di piring-piring 
penuh oleh makanan. kemudian kotor
melalui cerita politik: “eh, si anu. bukan, si ani.”

"kau mau gabung, anak muda?"
tanya bapak kurus: tinggal daging pembalut tulang.
 
"ih, jangan diajak. dia masih ingusan!" 
    "siapa bilang masih ingusan? 
    mana tahu cacingan."

Buyung bingung. perut lapar. ingus melebar. 
"Bu, bisa minta ..."
    "kalau tak ada uang, enyah dari sini. 
    kau anak siapa? berasal dari mana? 
    nama siapa? kami belum pernah lihat 
    wajahmu barang sejengkal."
ibu kain kemben batik mendengus. 
asap gerbong kereta api pasar minggu
mengepul dari lubang hidungnya. kembang kempis 
"tut-tut-tut"

"aku hanya mau minta ... "
    "kau siapa? suku apa? dari mana?
    budaya apa? warna kulit beda. rambut beda." 
bapak-bapak yang sedang asyik oper bola
politik, ikut tertawa. bola menggelinding 
ke bungkus rokok ilegal yang murah:
lima ribu rupiah saja. 
rokok legal sedang mahal.
cengkih dan tembakau sedang banjir
memenuhi sawah bersama panen padi super istimewa. 
"padi padi petani akan diekspor!"
    "kata siapa? kita sedang kekurangan beras, loh!" 
"kekurangan beras atau kekurangan impor?"

lumbung padi meledak dari kepala mereka 
mengenai bungkus rokok yang dibuat dari cengkih 
dan tembakau ilegal.

"anak muda, kau mau merokok juga?" 
    "hus! jangan biasakan memberi 
    rokok pada anak kecil."
mereka tertawa melihat jakun Buyung 
naik-turun mengikuti irama ingus.

ia menjauh dari kedai ngalor-ngidul.

...

Baca Juga: Mengembara Bersama Malala

Menembus Batas: Big Bang,
Sajadah Terbang, dan Puisi Senja Hari

Catatan: Puisi di atas adalah salah satu penggalan puisi yang terdapat dalam buku Malala, 2023.

Indra Intisa
Ikuti saya

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *