Lagi, Halusinasi Estetik di Tengah Bencana Sosial!

Lagi, Halusinasi Estetik di Tengah Bencana Sosial!

Setelah Lomba Cipta Puisi Piala Kebangsaan Pagar Laut

Di tengah zaman yang dikerumuni oleh bencana sosial berlapis, di mana puisi seharusnya bisa menjadi salah satu alat paling terpercaya untuk mengingat, menggugat, dan melawan, kita justru lagi-lagi menemukan para kurator dan institusi sastra yang punya kuasa membentuk wacana puisi malah mengabaikan karya-karya yang berbicara paling jujur pada krisis yang tengah membara. Pengabaian ini tidak dilakukan secara vulgar lewat sensor, tapi dengan cara yang lebih halus: pengagungan tanpa henti pada “keindahan estetika” di atas relevansi politik, pada bentuk di atas kobaran isi. Maka lahirlah lanskap sastra yang cacat, di mana puisi-puisi perlawanan yang bicara blak-blakan dianggap “terlalu kasar”, “terlalu marah”—atau yang paling memuakkan: “tidak cukup sastrawi.” Inilah yang saya sebut sebagai halusinasi estetik! Sebuah ilusi kolektif bahwa tugas utama puisi adalah menjadi indah, dan bahwa keindahan harus lebih utama dari bicara dengan terang tentang kenyataan sosial!

Halusinasi ini rupanya membuat horney! Para kurator kurator dan juri-juri sastra dalam membaca. Mereka berkeyakinan bahwa puisi seharusnya “melampaui” penderitaan, bukan membenamkan diri ke dalamnya. Setiap penyair diminta—secara eksplisit maupun tersirat—untuk menahan amarahnya, menghaluskan dukanya, dan membuat protesnya terasa nyaman. [SIC!] Preferensi estetik ini sering diklaim sebagai “selera objektif,” padahal ia sarat sejarah kolonialisme, elitisme kelas, dan estetika borjuis yang menjijikkan. Ia menuntut si tertindas untuk menceritakan luka mereka dengan anggun, lebih kabur lagi, atau pada titik tertentu bahkan tak perlu bicara sama sekali, dan cukup pura-pura saja! Tapi kita harus bertanya: masih layakkah bicara tentang “keanggunan” itu ketika jalanan terbakar, ketika leher diinjak polisi, ketika para demonstran ditembak ketika melakukan perlaanan?

Halusinasi estetik berfungsi seperti anestesi sastra. Ia membius puisi yang liar, memotong tepinya yang tajam, mengedit nadanya yang tak bisa ditenangkan. Ia mengubah nyala perlawanan menjadi bait yang bisa diajak makan malam dan basa-basi estetika yang mandul. Di bawah pengaruhnya, bahkan puisi yang paling radikal diminta untuk “tenanglah,” “edit dikit dong,” “dibuat publishable ya.” Padahal, puisi perlawanan tidak bisa—dan tidak seharusnya—patuh pada standar kecantikan naif semacam itu, karena kekuatannya justru lahir dari luka dan keterdesakan. Ia mematahkan bahasa bukan untuk gaya, tapi karena bahasa penjajah tak mampu menampung jeritan korban penjajahan!

Ya, kini kita kembali menemukan model penjurian dengan bentuk halusinasi ini, yang bicara dengan cara yang persis untuk memberikan ruang bagi puisi yang sesuai selera tertentu: memuja bait yang rapi, metafora yang halus, kata-kata yang padat, puisi yang bersih dibanding puisi yang berapi; yang mengawang tapi hambar. Mereka benar-benar tidak paham, orang-orang yang lahir di bawah penindasan, di pengasingan, atau di bawah todongan senapan, tak selalu punya waktu untuk bermastrubasi dengan kehaluskan diksi. Mereka bahkan tidak terlalu peduli dengan sintaksisnya yang mungkin pecah, bahasanya yang kasar, suaranya yang retak-retak oleh kejujuran, tapi dengan kegamlangannya, justru di situlah mereka menyaksikan kilau api puisi sejatinya menyala. Ruhnya berkobar-kobar! Ketika puisi seperti ini ditolak, bukan karena tak cerdas tapi karena tak “cantik,” kita harus bertanya: estetika macam apa yang sedang kita institusikan? Dan siapa yang diuntungkan? [Sic!]

Hari ini, kita kembali dipaksa melihat kemarahan puisi sebagai sesuatu yang tidak sastrawi, bahkan “kurang intelek.” Seolah-olah kemarahan struktural adalah tanda ketidaksopanan, bukan ketajaman nurani. Puisi yang meneriakkan nama-nama, yang menuding pelaku, yang menolak untuk sopan—puisi seperti itu dianggap polos, pamfletik, atau kurang halus. Tapi saya tanya: apa yang lebih “halus” dari kebenaran yang diucapkan dalam risiko? Apa yang lebih puitis dari suara yang terang bicara ketika realitas struktural kita meminta banyak omong kosong? Peminggiran terhadap puisi-puisi ini bukan sekadar persoalan gaya—ia adalah bentuk penjagaan ideologis, pengkondisian literer terhadap kemarahan, dan para kurator sastra kita tenyata ikut menjadi badut-badut estetisisme itu!

Dalam catatan kuratorial/umpan balik lomba, kita temukan ungkapan-ungkapan yang tak asing: “terlalu polos,” “kurang subtil,” “terlalu menggurui.” “hanya berupa kolase,” “jargonistik,” atau istilah-istilah servis bibir lainnya yang menyiratkan bahwa penyair harus menyaring pengalaman hidup mereka sesuai standar estetika yang ditentukan pihak dewan juri bukan oleh proyeksi ideologi dan perlawanan yang mungkin bisa diperjuangkan! Proyeksi ideologis dari sebuah pilihan wacana yang kemudian diseret kepada selera estetis yang naif! Yang pada ujungnya, ini bukan soal selera semata melainkan sebuah peristiwa halusinatif yang mematikan tradisi perpuisian kita sendiri yang sebenarnya bisa lebih berapi dan menggerakkan.

Untuk jelasnya, saya tidak menolak “craft”, teknik dan estetika. Tapi saya menolak keras ada dalam tradisi perpuisian kita ketika itu semua diam-diam dijadikan alat utama untuk meminggirkan roh puisi yang ingin meledak-ledak kepada situasi yang gawat hanya karena keterus-terangan yang dianggap “tidak enak dibaca!” Ketahuilah, teknik tanpa suara yang keras adalah topeng dari kekuasaan. Estetisisme puisi yang hanya memikirkan kendali formal adalah basa-basi yang kosong secara moral! Sebaliknya, puisi yang terbata-bata dan yang meledak-ledak oleh kemarahan, justru bisa jadi adalah sebuah karya agung karena justru ia hendak menolak melakukan omong kosong semua itu.

Detil dan keberanian! Di sanalah roh dan daya yang sesungguhnya dari sebuah puisi yang bertendensi ditulis untuk perubahan sosial. Bukan perlombaan untuk menciptakan bait yang dipoles demi tampil manis di depan saudagar sastra! Sebab puisi yang dibutuhkan untuk kepentingan ini bukanlah sekadar untuk sebagai bacaan, atau bergaya-gaya di dalam penerbitan, tetapi sebagai penyangga api perlawanan.

Dus! Mengestetisasi penderitaan tanpa mengungkap penyebabnya adalah kekerasan estetika! Penyair harus berani memilih kejelasan, berani marah, berani untuk dimengerti oleh orang banyak sehingga ia relevan dalam zaman yang sedang berada di dalam jurang kehancuran. Puisi yang hanya beronani pada menggambarkan warna api tanpa menyebut siapa yang membakarnya, yang menangisi anak mati tanpa menyebut nama rezim yang menembaknya—itu bukan puisi estetis, itu puisi pengecut! Puisi harus kembali ke fungsi asalnya: bukan hanya untuk memesona, tapi untuk mengguncang; bukan hanya untuk mempercantik, tapi untuk bersaksi. Lirik dan slogan politik bukan musuh, mereka saudara kembar sejak purba. Puisi bisa berisi amarah dan irama, kejernihan dan kekacauan. Janganlah kita mengecilkan puisi agar bisa duduk manis di galeri. Biarlah ia merentangkan tubuhnya di barisan protes dalam kobaran api. LAWAN!

17 April 2025

Shiny Elpoesya
Latest posts by Shiny Elpoesya (see all)
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *