untuk Sara Nuh Shannon Anakku, akan kuceritakan kepadamu Tentang pesan nenekmu di suatu malam Nenekmu datang, Menyelinap ke dalam mimpi. Menemuiku. Dan wajahnya tak pernah asing, tak bisa tua. Aku berharap kau percaya tentang cerita dari mimpi di saat orang-orang di sekelilingmu, mulai mengagungkan pikiran dan pengetahuan. akan kuceritakan kepadamu *** Angin dari kubur berbau anyir Menghempas ujung kakiku, melewati tubuhku yang tertidur berakhir, meniup ubun-ubun. Terlihat seorang perempuan dengan rambut panjang ikal wajahnya tak pernah asing, tak bisa tua. Aku mengenalnya. Dia adalah ibuku. Nenekmu. Tiba-tiba saja wajah dan badannya menghadapku. Tangannya yang dingin menggenggam kedua tanganku. Dan bibirnya mulai berucap kuburku sangat gelop namun aku mampu merenda doa-dos kuburku sangatlah sempit namun malaikat membentangkan peta jalan yang jelas menuju surga yang megah. kuburku tak ada tumbuhan, tak ada hewan tak ada air namun tanah mampu menjadi selimut hangot bagi tubuhku dalam penantian. Di kuburku... (Entah atas perintah siapa mulut ibuku menjadi kaku dan terdiam. Mengalir air mata, mata air dari kesedihan yang baru. Kesedihan yang baru saja aku lihat dari matanya) Aku memeluk tubuhnya. Dingin. Menggigil. Dari samping telinga kananku dibisikan kalimat : mengapa zamanmu begitu gelap Mengapa zamanmu lebih menakutkon daripada kuburku MENGAPA ANAKKU? (zamanku adalah kuburan bagi doa-doa seorang miskin bagi air mata anak-anak tanpa guru dan orang tua zamanku adalah kuburan bagi sejarah-sejarah yang diputarbalikkan bagi kebenaran yang dibungkam bagi kasih sayang yang sudah diganti dengan jual beli zamanku adalah kuburan bagi mimpi-mimpi kedamaian.) Lalu di sela tangisku, ibu membisikan kalimat di telinga kiriku: Di zamanmu tanah begitu luas namun orang takut melangkah karena dicurigai dan disalahkan. Di zamanmu pengetahuan dan agama lebih sering dibicarakan, tempat persembahyangan terbangun megah. Namun mengapa keributan dan peperangan membuat zamanmu begitu gelap. Rahmat Tuhan tak bisa menembus gelap. Mata kalian terbuka namun buta, tak melihat. Di zamanmu air mengalir deras, tumbuhan dan hewan hidup namun mengapa kalian bangun kota-kota, melumpuhkan kaki-kaki semesta. Pelukan ibuku semakin erat tubuhku terasa lebih dingin. (Entah atas alasan apa, air mataku pun menetes kami berpadu dalam kesedihan.) Wajahnya yang tak pernah asing dan tak bisa tua menghadapku. Tangannya dingin memegang kedua pipiku yang basah dengan air mata. Lalu ditanyanya dengan lirih: Kau masih membaca buku? Aku menganggukan kepala. Kau masih sembahyang pada Tuhan? Aku menganggukan kepala. Apakah kau sudah maafkan orang yang membuatmu sakit hati? Apakah kau sudah merasa bahwa segala yang kau punya hanya milik Tuhan? Apakah kau sudah menaklukan kesombongan atas apa yang kau tahu dan kau mengerti? Aku menangis Aku tak mampu menjawab. Bayangan zaman yang begitu pekat dan gelap terbayang di mataku. Seperti kubur. Tubuhku luka Jiwaku sakit dan aku ingin bertanya pada ibuku. Namun nenekmu telah menghilang anakku. *** Anakku, aku ceritakan kunjungan nenekmu dari kubur ini, sekarang. Sebelum ayahmu masuk ke dalam kubur tanah. Sehingga besok, ketika aku sudah dalam kubur, arwahku tak usah repot-repot datang ke mimpimu untuk mengingatkanmu. Kau tahu, begitu terbangun dari tidur, aku tersadar bahwa nenekmu sedang mengejekku. Jogja-Karawang, 2018
Latest posts by Shodiq Sudarti (see all)
- Kunjungan dari Kubur - 21 Oktober 2023