Kita semua pasti sudah tahu, bahasa itu ibarat masak mie instan. Simpel, cepat, dan bisa bikin kenyang. Tapi kalau setiap hari cuma makan mie goreng doang, lama-lama lambung bakal demo, dan kita bakal merasa bosan sampai ke sumsum. Sama kayak komunikasi yang cuma teks polos, ya rasanya datar-datar aja. Persis kayak ikut kuliah dosen killer: datang, duduk, diam—tatapan dosennya pun mirip sipir penjara yang lagi cari-cari kesalahan napi.
Tapi mari kita bayangin puisi digital, yang kayak mie goreng disiram kuah ramen, dikasih topping oreo, terus ditambah boba! Agak absurd, tapi gokil! Setiap suapan, eh, setiap kata, kita nggak tahu bakal dapat rasa apa—manis, asem, asin, atau tiba-tiba seblak! Inilah seni dekonstruksi puisi. Makanan sehari-hari, tapi versi eksperimental.
Kalau bahasa adalah hubungan cinta, maka umpamanya jelas: bosan kalau tanpa varian. Coba bayangin kalau kita bilang, “Aku sayang kamu” tiap hari, tapi nggak ada perubahan nada, intonasi, atau bumbu romantis. Itu rasanya kayak minum air putih sepanjang waktu—sehat, sih, tapi, come on, di mana serunya?
Terus, gimana kalau di puisi digital? “Aku sayang kamu”-nya bisa muncul sambil joged-joged kayak teteh-teteh di TikTok, atau malah tiba-tiba ngilang kayak mantan yang nge-ghosting. Bikin mikir, “Eh, dia ke mana, sih? Jangan-jangan move on duluan?”
Nah, puisi digital itu kayak teman yang suka tiba-tiba nge-prank pas kita lagi serius. Baru baca satu baris, lah, hurufnya kabur, lari dari layar! Atau tiba-tiba animasinya bikin layar bergetar kayak gempa 3,5 SR. “Ealah, apa-apaan ini!?”
Begitulah puisi digital: bukan sekadar soal teks, ini juga soal game of survival buat pengguna. Bisa nggak kita bertahan dan ikut main sampai akhir tanpa menyerah? Kalau nggak, siap-siap dihantui rasa terasing sepanjang hayat. Seperti saat yang lain bisa ngomongin serial anime One Piece sampai ending, kita cuma plonga-plongo di pojokan sambil nyemilin kuaci. Missing out, terjebak di episode cliffhanger abadi!
Soal warna di puisi digital? Wah, ini kayak pesta di mall pas ada diskon besar-besaran. Merah, biru, hijau, kuning—semuanya hadir dalam satu frame, bikin kita mikir, “Ini puisi apa lampu disko kelap-kelip?” Tapi itulah seninya.
Warna di sini bukan cuma sekadar hiasan, tapi cara komunikasi tersendiri. Awalnya kita mungkin cuma baca kata-kata, tapi lama-lama kita puyeng dalam badai warna-warni yang kadang bikin mata cenat-cenut, tapi tetap sambil cengengas–cengenges sendiri. Seperti makan makanan pedas yang bikin kita mandi keringat, rasanya kayak habis nguli maraton tiga tahun.
Coba bayangin lagi, kita sedang membaca puisi-puisi galau yang biasa nongkrong di dinding grup puisi Facebook, terus tiba-tiba latar belakangnya berubah jadi pelangi yang colorfull dan ceria. Di situ kita menyaksikan debat sengit antara kata-kata penuh kegalauan ala emak-emak dan warna-warna ceria ala bunda-bunda. Ini jelas lebih seru daripada perdebatan soal siapa yang lebih kuat: Kamen Rider atau Goku.
Nah, sekarang soal interaksi. Puisi digital itu ibarat chatting sama AI yang kadang ngawur, atau teman yang suka nimbrung-nimbrung absurd—datang-datang langsung bilang, “skibidi toilet, aku bluetooth, hingga kai cenat!” Bikin jidat berkerut dan gigi nyengir sambil mikir, “Apaan sih!”
Tapi, puisi digital juga gitu! Kita sentuh satu kata, eh, kata lainnya nyembul-nyembul kayak popcorn meletus di microwave! “Lho, lho, kenapa nih?” Udah gitu, kata-kata yang nyembul sering nggak nyambung pula, kayak pas lihat teman makan pecel sambil latihan kung fu. Itu rasanya kayak buka Instagram, niatnya cuma mau scrolling sebentar, lah, tau-tau udah tiga jam kita cuma nonton video kucing lagi ngakak guling-guling!
Di puisi digital, kita nggak cuma disuruh baca puisi. Kita diundang buat main sama puisi itu. Ini adalah puisi tipe-tipe NSA—itu lho, anak-anak No Strings Attached, yang nggak sungkan buat bilang, “Ayo dong, jangan dilihatin doang… do me! Klik, geser, putar, mainin aku, beb, mainin!”
Puisi ini menolak berbaring sendiri di layarnya. Dia pinginnya ngajak kita buat bener-bener terlibat, mengeksplorasi setiap tubuhnya yang lembut, selembut sinar pixel layar OLED. Ini adalah puisi super liar, yang berani ngajak siapapun buat have fun tanpa pengaman, tanpa kenalan, penuh kejutan dan selalu bikin penasaran.
Tapi, meski bebas dan liar, bukan berarti puisi digital nggak punya aturan. Kadang, dia suka ngasih batasan soal waktu main yang nggak bisa kita tolak. Ini tuh kayak slow motion di film action, atau jeda dramatis di sinetron-sinetron. Kita udah nunggu-nunggu klimaksnya, eh, tiba-tiba ada jeda sponsor obat herbal Klinik Tong Fang! Bikin kesel! Rasanya kayak lagi khusyuk nonton pembacaan puisi dramatis di YouTube, tiba-tiba muncul Thukul Arwana nyanyi Shopee COD di momen paling sedih.
Tapi, meski begitu, semua itu bukan sekadar trik teknis. Itu bagian dari pengalaman bersama puisi digital yang, siapa tahu, malah bikin kita merenungi apa makna hidup ini—dan akhirnya nggak ada jawaban lain kecuali absurd. Ya, kayak lagi nyari arti hidup pas nyuci celana dalam yang udah sobek-sobek tapi entah kenapa masih dipakai. Di situ kita sadar, “Oh, hidup ini ternyata cuma meme yang nyelip di timeline!”
Animasi huruf yang muncul pelan-pelan, gerakan-gerakan yang sengaja bikin kita gregetan, semuanya menambah lapisan rasa pada puisi. Jadi, kita nggak cuma sekadar baca atau membayangkan, tapi beneran terjebak dalam alur waktu yang melambat di karya tersebut—sebelum akhirnya, ya, Klinik Tong Fang muncul lagi!
Oh ya, jangan lupakan kode-kode pemrograman yang ada di balik puisi digital. Kalau boleh diumpamakan, ini kayak bumbu rahasia di masakan nenek moyang. Kita tahu rasanya enak, tapi, ya… nggak tahu gimana cara bikinnya!
Kadang kita kagum sama bagaimana huruf-huruf aneh itu bisa bikin segalanya di depan layar pengguna bergerak, tapi di saat yang sama, kita juga mikir, “Ini puisi atau ketikan kucing breakdance di atas keyboard?” Tapi kalau kita punya rasa heran yang besar, mungkin setelah baca kode-kode itu, kita malah kepikiran belajar coding. Biar apa? Biar bisa dikira hacker yang tampangnya serem penuh misteri, padahal cuma bisa mainan puisi.
Di puisi digital, elemen yang juga sering bikin penasaran adalah sifatnya yang selalu bisa di-update. Bayangkan, hari ini kita baca puisinya, dan rasanya udah dapet feel yang pas, udah cocok lah pokoknya. Tapi besoknya pas lagi kangen pingin baca lagi, lah, ternyata udah berubah! Persis ketika baru bangun tidur langsung buka Instagram, tahu-tahu foto profil kita jadi gambar Nenek Lampir nari balet, diganti sama adik yang nggak terima kalah main Uno.
Perubahan itu bikin puisi jadi mirip software yang terus-menerus di-update meskipun puisinya udah di-publish dan dipakai jutaan pengguna. Elemen-elemen baru muncul seperti cheat code dalam game RPG yang bukannya ngasih kita power–up, tapi malah NPCnya makin nge-bug, melintir-lintir, dan difficulty-nya terus nambah tanpa warning. Jadi, siap-siap aja, puisi digital ini bukan cuma bikin kita makin puyeng apa maksudnya, tapi juga bikin kita jadi korban malpraktek ilmuwan coding yang suka eksperimen sembarangan!
Atau, puisi digital juga bisa kayak pacar yang tiba-tiba berubah, persis kayak pacar terduga selingkuh sama temen sendiri. Pas kita lagi asyik-asyiknya chatting sama dia, mendadak responnya jadi dingin. “Lah, kok dia gini sih?” Lalu temen di sebelah kita dengan polosnya bilang, “Lah, sama aku mesra terus tuh!” Waduh, kok bisa gitu?
Di puisi digital, kadang cuma klik satu kata, tiba-tiba puisinya nikung sendiri. Awalnya romantis, lanjutnya misterius. Atau bahkan jadi gila, ketawa-ketiwi sendiri sambil nangis kayak joker, bikin kita mikir, “Ini puisi, atau aku masuk deepweb?”
Setiap interaksi itu ibarat jalan-jalan di persimpangan, di mana keputusan kita bisa bikin ending-nya epik, atau malah ngenes—kayak berharap dapat kiriman paket dari ayang, eh, malah yang datang tagihan panci!
Lalu, ada lagi aspek puisi digital yang lebih halus—aspek ruang. Di sini, elemen-elemen puisi bisa bikin kita merasa seperti sedang terjebak dalam jebakan tikus yang cantik. Kita diarahkan buat bergerak, mengklik, dan menjelajahi tiap sudut, tiap sesuatu yang menggelitik jiwa-jiwa usil kita. Seperti pas lagi penasaran pingin ngintip ada apa di balik lubang sekat warnet.
Bahasa interaksi ini, seperti lubang mini pada sekat warnet, selalu tersembunyi, tapi begitu penting—bikin penasaran. Begitu kita menemukan rahasia tersembunyi dalam puisi itu, kita akan merasa seperti berhasil menaklukkan riddle dalam game. GG!
Jadi, kalau kita sudah merasa bosan dengan puisi konvensional yang cuma diam tak berdaya, terbujur kaku di atas kertas atau beranda Facebook, coba deh puisi digital. Sekali coba, dijamin kayak ketemu kopi kekinian: awalnya ragu, tapi begitu nyoba seseruput, langsung pingin lagi.
Puisi digital bukan cuma bikin otak mikir, melainkan juga tangan bekerja, mata fokus, dan emosi ikut campur. Pengalaman ini jauh lebih seru daripada sekadar baca baris demi baris puisi statis yang dingin—seperti Putri Salju terbaring bertahun-tahun, menunggu Sang Pangeran yang lebih kepincut sama kelincahan dan keimutan Jennie Kim!
Tapi! Siap-siap juga, karena proses pembuatan puisi digital seringnya bikin bingung, frustasi, terpana, nagih, dan tak jarang meng-kaget dengan glitch yang, “Lho, kok keren!?”
- One Shift Puzzle - 14 September 2024
- Re-Morse - 14 September 2024
- Klik, Geser, Kaget! Itulah Puisi Digital - 6 September 2024