Ketika Objektivitas Hanyalah Nama Lain dari Selera

Ketika Objektivitas Hanyalah Nama Lain dari Selera

Suatu hari, saya berbincang dengan seorang teman. Topiknya: bagaimana juri menilai puisi. Kami mendapati, bahkan nama besar dalam dunia sastra tak otomatis menjamin objektivitas. Keputusan yang tampak netral sering kali hanya bungkus rapi dari selera pribadi, bias preferensi, atau semacam “standar rasa” yang tidak pernah benar-benar universal.

Subjektivitas berbalut objektivitas ini tak hanya terjadi di panggung lomba. Ia merambah ke banyak media. Kurator memilih karya yang “layak tayang” dengan alasan-alasan estetis, padahal bisa jadi itu hanya selera pribadi yang kebetulan punya panggung.

Ironisnya, karya-karya yang tak tunduk pada pola dominan–yang terlalu jujur, terlalu asing, atau terlalu sunyi–sering kali tersingkir. Mereka dianggap terlalu eksperimental, terlalu pribadi, atau malah “tidak cocok dengan pasar pembaca”. Lalu siapa yang menentukan itu semua?

Masihkah penghargaan bisa dijadikan tolok ukur mutu? Ataukah semua ini hanya permainan simbolik: siapa kenal siapa, siapa cocok dengan siapa, dan siapa cukup pandai menulis sesuai selera juri?

Mungkin waktu adalah juri sejati. Ia tidak sibuk memilih pemenang. Ia hanya diam, mengamati, dan membiarkan karya berjalan dengan nasibnya sendiri. Dan jika ia memang layak, ia akan bertahan–jauh setelah piagam-piagam penghargaan berdebu dalam laci.

Atau… mungkin, karya terbaik itu tidak pernah terlihat sama sekali.

Indra Intisa
Ikuti saya
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *