Iman Budhi Santosa merupakan seorang penyair yang berbasis di Yogyakarta. Ia banyak mengangkat tema mulai dari keagamaan hingga isi pikiran dan pengalaman personal yang sangat relevan dengan pembacanya. Ia pun tak jarang menggunakan metafora, simbolisme, dan personifikasi untuk menciptakan gambaran yang imajinatif dan bermakna. Namun ia juga banyak menuliskan puisi dengan sederhana tanpa banyak majas sehingga mudah dipahami pembaca seperti yang tergambar dalam puisi yang berjudul “Kota Lama”, “Orang-Orang Perak Kotagede”, “Orang-Orang Sunyi Penunggu Makam, Petilasan, dan Candi”, “Ketika Pedang Belati Berbicara di Banyuwangi”, dan “Sumpah Seorang Pegawai Negeri Ketika Naik Pangkat Pertama Kali”.
Puisi “Kota Lama” ini menceritakan perasaan personal dengan peristiwa yang sering kita temukan di sekitar. Secara singkat puisi ini mengungkapkan perasaan rindu dalam kenangan yang disampaikan secara sederhana, indah, dan mudah dipahami.
Jalan itu, masih jalan yang sama kali itu, masih berbatu tiang listrik itu, masih tiang listrik yang dulu
Puisi “Kota Lama” tak banyak menggunakan majas cenderung menggunakan bahasa sehari hari yang mudah dipahami namun dengan penekan penekanan akan beberapa hal dengan pengulangan (repetisi). Penggunaan bahasa yang mudah inilah yang menjadikan puisi ini sebagai puisi yang mudah dimaknai oleh pembacanya.
Puisi “Orang-Orang Perak Kotagede” Menceritakan Pengrajin perak yang semakin sedikit jumlahnya dan didominasi orang tua. Kotagede yang dulunya dikenal sebagai sentra pengrajin perak kini sudah mulai lengser karena tak banyak anak muda yang mau untuk meneruskan mata pencaharian pengrajin perak. Tak banyak yang ingin bekerja sebagai pengrajin perak karena hasil dan kerja yang tak sebanding.
Bertahun-tahun menabung hidup tak sampai berkalung sampai dada tirus melengkung sampai rambut keperakan tersepuh seperti perhiasan dan mainan, sunyi tak ditoleh anak-anak zaman
Puisi “Orang-Orang Perak Kotagede” memiliki satu majas yang dominan yaitu majas hiperbola (melebih lebihkan). Majas hiperbola pada puisi ini membuat puisi menjadi lebih dalam maknanya dan menarik bagi pembaca. Penggunaan majas hiperbola dalam puisi “Orang-Orang Perak Kotagede” ini juga tidak membuat puisi menjadi lebih sulit dimaknai justru menambah kesan tersendiri bagi pembaca.
Puisi “Orang-Orang Sunyi Penunggu Makam, Petilasan, dan Candi” berkisah mengenai pentingnya menjaga hubungan antara manusia, alam, kebudayaan, dan leluhur. Kita sebagai masyarakat harus menjaga dan melestarikan warisan kebudayaan yang telah ada sedari dulu. Sebagai masyarakat kita sudah sepantasnya untuk terus menjaga alam dan warisan leluhur.
Pagi menyapu, siang menjemput tamu karena jembatan tinggal satu orang sunyi yang berakar di sini.
Puisi “Orang-Orang Sunyi Penunggu Makam, Petilasan, dan Candi” memiliki majas personifikasi (Penggunaan sifat manusia pada benda tak hidup). Majas personifikasi digunakan untuk membangun imajinasi pembaca dalam menghayati puisi.
Puisi “Ketika Pedang Belati Berbicara di Banyuwangi” menceritakan mengenai sebuah konflik yang membuat orang dengan mudah terluka hingga terbunuh. Konflik yang terjadi entah dengan siapa, tak terlihat yang mana pelakunya. Konflik yang terjadi membuat banyak orang lupa akan luka yang dialami atau ditorehkan pada orang lain.
buku diletakkan. Lebih baik dengan belati menggeledah isi hati kerabat sendiri lebih baik dengan mata elang membaca isyarat sunyi sepanjang hari "Siapa musuh kita?" gumam peronda dan ribuan orang menyerahkan nasibnya pada senjata. Mereka memburu
Puisi “Ketika Pedang Belati Berbicara di Banyuwangi” menggunakan majas repetisi (pengulangan) yang menunjukkan tekanan pada suatu hal. Penekanan pada suatu hal membuat pembaca lebih meresapi pesan pada puisi tersebut.
Puisi “Sumpah Seorang Pegawai Negeri Ketika Naik Pangkat Pertama Kali” berisi mengenai sebuah pencapaian namun tak bisa membuat ia merasa lebih berharga. Ia merasa kenaikan pangkat ini merupakan tanggung jawab berat yang harus dijaga. Ia tahu bahwa apa yang dimilikinya kini tak abadi dan ia ingin sok kembali menjadi sosok sederhana.
bergumam. "Di sini aku tak lama. Negeriku yang lain, negeri kata-kata berkali-kali memanggil dan berhasil.
Puisi “Sumpah Seorang Pegawai Negeri Ketika Naik Pangkat Pertama Kali” memiliki majas personifikasi (penggunaan sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia). Majas Personifikasi pada puisi ini untuk membantu pembaca mengimajinasikan dan membayangkan suasana yang ingin disampaikan pengarang.
Penggunaan bahasa yang sederhana dan lugas membuat puisi karya Iman Budhi Santoso mudah dipahami oleh pembaca. Namun, di balik bahasa yang sederhana tersebut, tersimpan makna yang mendalam. Puisi dalam buku Matahari Matahari Kecil memiliki banyak tema dan beragam jenis puisi. Namun puisi dengan sedikit majas tak membuat puisi tersebut tidak baik justru dengan hal ini membuat puisi memiliki daya tarik tersendiri.
Yogyakarta, 22 November 2023
Informasi tambahan Identitas buku: Judul : Matahari Matahari Kecil Penulis : Iman Budhi Santosa Penerbit : Interlude Tahun terbit : 2023 Jumlah halaman : 132 Puisi yang dibahas 1. Kota Lama Jalan itu, masih berdebu kali itu, masih berbatu tiang listrik itu, masih tiang listrik yang dulu Tapi, wajah itu menatapku ah, tak ada berkata sahabat di matamu 1969 2. Orang-Orang Perak Kota Gede Pelan hidup diembuskan ke dalam logam, gram demi gram. Mengikat emerald, mengubah batu mirah mata hati di setiap jari. Sampai malam palu kikir masih berbunyi sesekali hembusan patri, ketukan-ketukan ringan di ulu hati. "Tua terkunci dalam aksesori jika ditimbang, berat subang dari sepotong jari yang kumiliki." Bertahun-tahun menabung hidup tak sampai berkalung sampai dada tirus melengkung sampai rambut keperakan tersepuh seperti perhiasan dan mainan, sunyi tak ditoleh anak-anak zaman 1996 3. Orang-Orang Sunyi Penunggu Makam, Petilasan, dan Candi Lama meraka bersahabat dengan pohon tua dengan batu, sisa catatan di balik debu, Pagi menyapu, siang menjemput tamu karena jembatan tinggal satu orang sunyi yang berakar di sini. "Leluhur sudah tak ada. Aku hanya menjaga bunga tanah, untaian kisah pada yang percaya." Selamanya embun tak membekas pada daun hari tak terbaca pada tahun tapi, kaki meninggalkan tapak jejak yang menurun. "Lihatlah siapa mereka, siapa kita?" Sejak dulu lumut dan batu bukan seteru. Anak dan cucu hanyalah batang-batang bambu tumbuh dalam satu rumpun lain waktu 1997 4. Ketika Pedang Belati Berbicara di Banyuwangi Kali ini demikian mudah orang mati dikalahkan pedang, teriakan-teriakan meradang. Batu jadi peluru, petuah dikibaskan buku diletakkan. Lebih baik dengan belati menggeledah isi hati kerabat sendiri lebih baik dengan mata elang membaca isyarat sunyi sepanjang hari "Siapa musuh kita?" gumam peronda dan ribuan orang menyerahkan nasibnya pada senjata. Mereka memburu dan seperti diburu-buru oleh suara yang tak tampak, oleh sejarah yang mengukir jejak-tapak Kali ini, demikian mudah orang terlupa pada luka-luka yang dipelihara di selangkangannya 1998 5. Sumpah Seorang Pegawai Negeri Ketika Naik Pangkat Pertama Kali Meski diterima dan upacara mengukuhkannya ia tak merasa berbeda, lebih tinggi lebih berharga. "Ini hanya wasiat supaya abdi tak berkhianat. Tangan kaki sampai mulut, lurus berkata dan berbuat..." Sejenak ia menatap bendera, dan menyaksikan wajahnya tak di sana. Kemudian diam-diam bergumam. "Di sini aku tak lama. Negeriku yang lain, negeri kata-kata berkali-kali memanggil dan berhasil. Nanti, sewaktu-waktu aku akan kembali ingin jadi merpati, hati nurani, cahaya api tanpa pangkat dan kursi, tanpa siasat ketika mencatat luka-luka zaman yang bertebaran di kanan-kiri..." 2002