Salah satu unsur yang menjadikan puisi menjadi lebih hidup dan menarik adalah rima. Menurut KBBI, rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan. Rima bisa saja terdapat di awal larik, di tengah ataupun di akhir larik. Tetapi secara umum, orang-orang banyak menghubungkan rima dengan kesamaan bunyi pada larik akhir saja. Sebagai contoh pola persajakan pada pantun, gurindam, syair, karmina, dan sajak-sajak yang lain memang memanfaatkan keseragaman rima pada larik akhir.
Pada puisi-puisi modern, pemakaian rima memang cenderung bebas dari pola persajakan yang teratur dan terikat. Rima bisa saja letaknya berdekatan antara kata ke kata. Bisa juga antara larik ke larik. Atau mungkin antar larik ke larik yang bersebelahan—larik-larik pada bait berikutnya. Ada juga penyair yang memang membebaskan puisinya dari sumbangsih bunyi dari rima. Kebebasan letak rima kadang menjadikan penyair lupa akan fungsi sebuah rima. Padahal rima yang membawa unsur bunyi-bunyian pun bisa memberikan efek kejut, efek magis yang tak terduga, atau pula efek psikologis terhadap pembacanya. Seperti bunyi vokal tertentu memberikan sugesti bahagia, atau bunyi konsonan tertentu mampu memberikan efek sakit atau marah. Begitu seterusnya.
Penyair-penyair modern yang melepaskan diri dari permainan bunyi setidaknya ia sudah menipiskan unsur dari sebuah puisi. Unsur yang kita lihat dari sisi fisik—yang kita katakan sebagai versifikasi yang di dalamnya memuat rima, ritma, irama. Kadang ada sebuah rima di antara larik perlarik; antara kata perkata yang mereka buat tanpa sengaja—tidak mengindahkan sebuah makna magisnya—hanya sebuah kebetulan. Bagi saya ini sebuah kematian. Sebagaimana kita tahu, Bahasa puisi adalah Bahasa yang benar-benar kita pilih dan perhitungkan. Itulah makna dari sebuah diksi. Pilihan-pilihan ini tentu juga merujuk akan pertimbangan kita ketika memilih kata, bunyi, larik, jumlah kata, jumlah bait, enjambemen, majas, makna kias, dsb.
Pemanfaatan sebuah bunyi dalam puisi tentu tidak bisa kita lepaskan dari makna rima. Ada beberapa kata yang seolah-olah berbunyi sama, mirip atau serupa, padahal dari sisi visual (bentuk) adalah berbeda. Secara umum, diksi seperti ini tidak bisa kita katakan sebagai rima yang sama. Tetapi secara bunyi ia bisa saja termasuk ke dalam unsur versifikasi. Sebagaimana contoh berikut:
Abjad; jagat; nekad; sesat; lambat;
Marik kita baca dan dengarkan. Seolah-olah terasa sama dan mirip. Tetapi sesungguhnya berbeda. Mari kita simak pula contoh yang lain:
Isap; ijab; asap; jilbab
Apa yang kita rasakan? Terasa mirip, bukan? Secara khusus—dalam kajian rima, sesungguhnya itu bukan termasuk rima. Tetapi secara umum, ia sah saja dikatakan sama. Banyak pantun-pantun yang secara tanpa sadar memakai pola rima dengan kata yang terdengar mirip tersebut. Tetapi tetap saja dikatakan sah sekalipun sebenarnya bukan. Sebagaimana kita tahu, pantun memang lebih dikenal dengan puisi yang banyak diucapkan secara sambung-bersambung antara orang-perorang. Bisa saja dalam sebuah acara pernikahan, pinangan, silaturahmi, dsb. Jika disimak dari sisi ucapan, sah-sah saja. Tetapi ketika ditulis, tentu akan menjadi berbeda. Saya pribadi tidak sedang mempermasalahkan tentang penyimpangan kecil ini. Tetapi justru menjadikan penyimpangan ini sebagai jalan baru bagi kita dalam memanfaatkan bunyi pada puisi-puisi modern. Kita bisa saja memanfaatkan kesamaan bunyi ini dalam sebuah puisi modern, sebagai upaya dalam perluasan diksi dan makna.
Lebih luas lagi, kemiripan-kemiripan bunyi bisa saja kita pecah lebih jauh lagi, sebagaimana contoh berikut ini;
Kecup; hasut;
Cium; racun
Secara bunyi-bunyian, tentu dua contoh berikut ini lebih sedikit berbeda dibandingkan dua contoh sebelumnya. Tetapi kita masih dapat merasakan bunyi-bunyi tengah yang sama, seperti vokal “u’. Pemanfaatan bunyi-bunyian yang terdengar mirip ini bisa kita kaitkan dengan magis ataupun psikologis dari pembaca. Selamat mencoba.
Pulau Punjung, 03 Agustus 2016
- Hai AI, Apakah Kamu Mengenal Saya? - 9 September 2024
- Cerita Horor - 15 Agustus 2024
- Padma Suami - 3 Agustus 2024