Oleh: lifespirit!
o, kucing tidur
di penjemuran ikan
kampung nelayan
HA. 22 April 2023; 14.44 WIB
o angin laut
membawa bau ikan
sampai ke bukit
HA. 22 April 2023; 14.48 WIB
Dua haiku bertemakan sama, yakni musim panas, di mana para nelayan di Indonesia sedang panen raya beragam jenis ikan laut, dan itu terjadi pada saat musim panas (April-September) karena kondisi laut dalam keadaan stabil. Namun begitu, kesamaan tema dalam dua haiku Hasan Aspahani yang ditulis hanya selang waktu empat menit pada jam dan hari yang sama, gaya pengungkapan dan penyampaiannya sangat berbeda. Pada haiku pertama subjek/objek pembicaraan kucing dan penjemuran condong ke haiku modern.Pada haiku kedua subjek/objek pembicaraan angin laut dan ikan condong ke haiku tradisional.
Haiku pertama (1)
o, kucing tidur
di penjemuran ikan
kampung nelayan
Haiku “di penjemuran ikan”menggunakan 575 suku kata dalam format tiga baris bagi yang merupakan salah satu ciri khas mendasar dalam Haijin menulis puisi pendek bergaya ungkap tradisional haiku, selain bahasa sederhana, padat, dan mengandung pesan makna yang mendalam.Pada haiku ini, tidak ada penggunaan kata-kata secara eksplisit yang merelevansi ke kigo besar yang musim atau musiman yang merupakan bagian dari pergeseran ruang-waktu yang panjang dan konstan dipengaruhi unsur-unsur alam dan berkebudayaan.Dan juga tidak merelevansi pada kigo kecil yang merupakan bagian dari pergeseran ruang-waktu yang singkatdan konstan.Namun secara implisit kata-kata “o, kucing tidur di penjemuran ikan” dalam haiku ini, walaupun tidak secara tegas dan jelas merujuk pada waktu pagi, siang, sore atau malam hari, tapi mengindikasikan pada kigo kecil. Dan masih dalam konteks implisit biarpun samar, melalui pendekatan makna indeks, mengarah pada musim panas di mana para nelayan panen ikan laut. Artinya kucing tidur di jemuran ikan, tidak mungkin jemuran dalam kondisi basah karena hujan.Jadi kucing tidur di jemuran ikan karena kering yang identik dengan musim panas, Dan musim panas jika dikaitkan dengan kampung nelayan, adalah waktu di mana ikan hasil laut sedang melimpah. Jadi walaupun jemuran ikan tidak menyertakan kata-kata yang menjelaskan di jemuran ada ikannya, secara makna indeks, kucing tidur identik kekenyangan habis makan sesuatu (makan ikan? Mungkin).
Pada haiku “di penjemuran ikan”, kata-kata “o, kucing tidur” dapat dianggap sebagai kireji primer atau jeda makna dalam haiku tersebut.Dalam haiku ini “kucing” adalah subjeks yang menjadi fokus utama pembicaraan, bukan “ikan” yang hanya merupakan penjelas dari predikat.Dalam konteks haiku ini, kireji primer adalah jeda makna yang terletak di antara baris pertama dan kedua, di mana tekanan emosional pada kata-kata “o, kucing tidur” menandakan adanya perubahan atau transisi dari baris pertama ke baris kedua yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penekanan emosional dan ritme dalam haiku.
Dari uraian saya di atas, dapat dikatakan bahwa, haiku“di penjemuran ikan”merupakan haiku modern yang penggunaan unsur-unsur seperti kigo, gambaran visual, pengalaman sensorik, dan makna filosofis untuk menciptakan efek emosional dan psikologis yang mendalam pada pembaca, lebih dominan daripada penggunaan kigo dan kireji secara ketat sebagaimana pada puisi tradisional haiku.
Adapun pengabungan frasa-frasa dalam tiap baris haiku untuk membentuk kalimat sederhana berpola kalimat Subjek-Predikat-Keterangan Tempat, yaitu: “Kucing tidur di penjemuran ikan [pause]kampung nelayan”. Dalam kalimat ini, subjeknya adalah “kucing”, predikatnya adalah “tidur”, dan penjelasan predikat adalah “di penjemuran ikan”. Keterangan tempatnya adalah “kampung nelayan”.
Kata-kata “di penjemuran ikan” merupakan penjelasan predikat dalam kalimat tersebut.Predikatnya adalah “tidur” dan penjelasannya adalah “di penjemuran ikan”.menjelaskan tempat di mana kucing sedang tidur, yaitu di atas penjemuran ikan. Keterangan tempat “kampung nelayan” menunjukkan lokasi kampung di mana kucing tersebut berada.Haiku ini menggambarkan suasana kampung nelayan yang biasanya dihiasi dengan ikan yang sedang dijemur, sehingga menarik perhatian kucing untuk tidur di atasnya. Dalam konteks haiku ini, Ikan bukan sebagai objek pembicaraan, namun objek pembicaraannya adalah predikat yang berupa kata-kata “di atas jemuran ….”. Karena “ikan” bukan objek pembicaraan, kigo menjadi samar, atau tidak gamblang, sebab bisa saja momen pada saat itu adalah bukan musim panen raya. Bisa saja musim hujan, dan kucing tidur di atas jemuran ikan, saat itu mungkin pas tidak sedang turun hujan, tapi hanya sebuah perilaku kebiasaan kucing yang sering tidur di atas suatu tempat yang biasanya digunakan untuk menjemur ikan, yang menggambarkan suasana kampung nelayan yang produktif dan sibuk. Meskipun mungkin tidak selalu ada ikan yang sedang dijemur pada saat itu.Penggunaan kata “penjemuran ikan” saya menduga haijin ingin memberikan kesan kegiatan yang ramai dan produktif, dan membantu membentuk citra yang lebih jelas mengenai suasana kampung nelayan.
Secara makna literal atau denotatif, haiku ini menggambarkan suasana kehidupan di wilayah pesisir yang tercermin dari adanya kucing yang sedang tidur di dekat penjemuran ikan di kampung nelayan.Haiku ini juga dapat menimbulkan perasaan tenang dan damai karena suasana yang dihadirkan.
Haiku kedua (2)
o angin laut
membawa bau ikan
sampai ke bukit
Haiku “sampai ke bukit” sebagaimana haiku pertama “di penjemuran ikan”, keduanya sama-sama menggunakan 575 suku kata dalam format tiga baris bagi.Yang membedakannya adalah dalam hal penggunaan kigo besar dan kigo kecil.Haiku ini secara makna literal/denotatif menggambarkan betapa kuatnya angin laut dalam membawa aroma atau bau ikan dari laut hingga ke bukit.Suatu penggambaran pada suasana kehidupan di wilayah pesisir.
Haiku “sampai ke bukit” menggunakan kigo kecil eksplisit yakni “o angin laut” yang merelevansi pada terjadinyaangin laut adalah disaat Siang Hari, dimana suhu pada lautan akan menjadi lebih dingin jika dibandingkan dengan suhu pada daratan.Dan gabungan kata-kata “o angin laut membawa bau ikan” mencitrakan bahwa volume ikan tidak sedikit sehingga bau ikan begitu kuatnya saat diembus angin laut, bahkan tercium hingga jauh ke atas bukit.Ini menandakan adanya kausalitas antara volume ikan yang banyak dan teriknya pancaran matahari yang menyebabkan adanya angin laut.Dan kebertautan sebab akibat ciri-ciri tadi, identik dengan musim panas di mana pada saat musim tersebut para nelayan panen raya ikan laut, dikarenakan kondisi laut stabil.Dan karena ikan yang melimpah, agar awet dan tahan lama, ikan diasinkan dengan system penjemuran.
Pada haiku “sampai ke bukit”, susunan teks secara makna literal berbentuk kalimat sederhana berpola kalimat Subject-Predicate-Objek-Keterangan tujuan. Dalam haiku tersebut, “o angin laut” merupakan subjek kalimat, sedangkan “membawa bau” merupakan predikat kalimat “ikan” merupakan objeks kalimat, dan “sampai ke bukit” merupakan keterangan tujuan. Predikat kalimat ini terdiri dari dua frasa yaitu “membawa bau ikan” dan “sampai ke bukit”.Haiku tersebut fokus pada satu tema yakni musim panen ikan laut, di mana angin laut membawa bau ikan dari laut ke bukit. Jadi kata-kata “Sampai ke bukit” yang merupakan keterangan tujuan tersebut untuk menjelaskan tempat atau tujuan dari aksi yang dilakukan oleh subjek “o angin laut” dan predikat “membawa bau” dalam kalimat haiku ini.
Seperti yang telah dipahami bahwa kireji primer atau jeda makna/semantik identik dengan fungsi kireji dalam menciptakan kesan ekspresi emotif pada pembaca, yang salahsatunya diwakili oleh kata-kata tertentu atau diwakili tanda baca yang menandakan adanya interjeksi, Tapipada haiku ini, justru saya pandang bukan baris pertama yang ada kata interjeksi “o” yang difungsikan sebagai kireji primer, namun justru secara kesatuan makna utuh gabungan kalimat baris 1, 2, dan 3, kata-kata “o angin laut membawa bau ikan sampai ke bukit” penekanan kata-kata dan fokus pembicaraan dan yang dijadikan kireji primer adalah kata-kata di baris kedua yakni “membawa bau ikan”. Sedangkan baris pertama “”o angin laut” dan baris ketiga “sampai ke bukit” adalah pause atau hentakan yang mempertegas makna dan memperjelas situasi yang digambarkan dalam haiku ini. Kireji di baris kedua haiku ini digunakan untuk menghadirkan kontras penjajaran antara gambaran bau ikan yang dibawa oleh angin laut yang menyengat hidung dengan gambaran bukit yang jauh dari laut dan dianggap sebagai tempat yang lebih sejuk dan segar. Kontras tersebut membantu memperkuat makna keseluruhan haiku yang menggambarkan keberadaan ikan sebagai simbol kemakmuran yang merata di sekitar kampung nelayan, yang dapat dirasakan bahkan di tempat yang jauh dari laut seperti bukit.Hal ini juga dapat diartikan sebagai penggambaran harmoni antara manusia dan alam, di mana keberadaan ikan sebagai hasil panen raya dari laut memberikan manfaat yang merata bagi masyarakat di sekitarnya.
Bisa saya katakann, haiku “sampai ke bukit”adalah salah satu contoh tradisional haiku yang dominan dengan unsur-unsur haiku tradisional, di antara haiku-haiku Hasan Aspahani yang kebanyakan condong pada konsep modern haiku dan atau pada puisi pendek format 575 suku kata non haiku atau bernafaskan haiku dengan bahasa penyampaian liris imajis.
lifespirit, 23 April 2023
- Haiku Katak Basho, Haiku Kematian (Benarkah?) - 15 Agustus 2024
- Sekilas Tentang Perbedaan Mendasar Haiku Modern, Katauta, Zappai dan Senryu - 5 Agustus 2024
- SUNGSANG - 28 Oktober 2023