Ide Gila di Warung Kopi
Di sebuah warung kopi sederhana, Ompi sedang memutar-mutar sendok di gelas kopinya, sementara Yuzet sibuk menggaruk-garuk kepala yang belum disampo sebulan terakhir.
“Yuzet,” kata Ompi tiba-tiba. “Gimana kalo kamu nyalon jadi kepala desa?”
“Gue?” Yuzet tersedak. Gorengan muncrat mengenai muka Ompi. “Jadi kepala desa? Gue kan nggak ngerti politik!”
“Eits. Terkejut ya terkejut aja. Jangan pake lempar goreng sembunyi gigi.” Ompi manyun memperlihatkan mulutnya yang Suneo.
“Sorry, Ompi. Tapi gue kan awam dalam hal ini.”
“Itu justru modal utama,” kata Ompi serius sambil menyeruput kopi. “Politisi sekarang malah bangga kalau kagak ngerti apa-apa, asal bisa senyum.”
“Tapi senyum gue kan ga cakep, loh?” Yuzet melihat sekilas ke kaca warung. Tapi buru-buru ia berpaling. Sepertinya malu.
“Hei. Kamu tuh bukan nyalon jadi model. Tapi pikiran dan kemauan.”
Yuzet mengangguk mantap. “Betul juga. Tapi… gue mesti ngapain, Pi?”
“Kampanye,” jawab Ompi sambil terkekeh. “Kita bakal bikin janji-janji absurd yang susah dibantah.”
Yuzet menatap Ompi dengan penuh semangat. “Contohnya?”
“Kita janjiin: tiap warga dapat satu kucing gratis untuk mengusir tikus! Kalau ada banjir, kita kasih pelampung gratis juga!”
Yuzet melonjak. “Ih, keren itu! Tapi… duitnya dari mana?”
Ompi mengedipkan mata. “Nanti aja dipikirin. Yang penting duluan janji. Modal utama politisi itu: optimisme tanpa realisme.”
Yuzet mencatat serius di buku kecil: “Optimisme tanpa realisme.”
“Heleh, malah dicatat,” gumam Ompi.
Bersambung …
- Tangisan Sungai, Sumpah Plastik: Membaca Safri Naldi lewat Ekokritik dan Marxisme - 20 Mei 2025
- Kesunyian Literasi - 15 Mei 2025
- Pemilihan Kepala Desa – Episode 03 - 11 Mei 2025