Tradisi kritik sastra Indonesia bisa dikatakan bermula secara nyata sejak tahun 1930-an, ketika sejumlah pernyair Indonesia modern mulai mengeluhkan dan memberi jarak dengan Balai Pustaka, yang secara etik terbitannya harus sesuai atau minimalnya tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan strategi kebudayaan Belanda. Pandji Poestaka namanya, sebuah majalah yang diterbitkan di bawah naungan Balai Pustaka, yang sempat menjadi media pengulasan karya sastra di zamannya; meski pada akhirnya tidak begitu signifikan sebab sudah terbitnya majalah Poejangga Baroe. Rubrik yang dibuka untuk kepentingan ini diberi judul Memadjoekan Kesusasteraan. Dibuka oleh Sutan Takdir Alisyahbana (STA) ketika masih menjadi Redaktur di lembaga penerbitan resmi milik pemerintah kolonial ini. Majalah Pandji Poestaka terbit dalam rentang tahun 1923 hingga 1945. Tetapi, sekali lagi, sejak terbitnya majalah Poejangga Baroe yang didirikan oleh pribumi sendiri, rubrik sastra dalam majalah Pandji Poestaka menjadi kian tidak signifikan.
Dengan kepeloporan STA yang sebenarnya punya penekanan suara yang sama positifnya terhadap pendekatan teoritik Barat, generasi penyair sezamannya kemudian berkumpul dan kemudian menerbitkan sebuah majalah sendiri yang diberi nama Poejangga Baroe (terbit: 1933-1942). Pada majalah ini, berbagai pemikiran kritis dan progresif tentang puisi, sastra, secara umum juga kebudayaan makin marak ditelurkan tanpa sensor. Misalnya persoalan apakah seni itu untuk seni atau untuk masyarakat? Persoalan kebudayaan dan seni Indonesia apakah hendak berorientasi ke Barat atau ke Timur? Bagaimana hakikat serta bentuk puisi Indonesia Modern mestinya ditulis, sehingga berbeda dengan puisi Indonesia zaman lampau? Dan seterusnya dan seterusnya. Itu semua adalah contoh tema pokok yang jadi pembicaraan di masa ini. Adapun beberapa nama yang turut berkontribusi dalam melakukan kritik sastra di masa ini selain STA di antaranya yaitu, Muhammad Yamin, Roestam Effendi, Sanusi Pane, Armijn Pane, J.E. Tatengkeng, Sutan Syahrir dan lainnya.
Kemudian pada tahun 40-an, ketika penjajahan Indonesia beralih dari tangan Belanda ke tangan Jepang; ketika Balai Pustaka beralih ke Keimin Bunka Sidhoso yang hendak menghapus pengaruh kebudayaan Barat; ketika majalahPandji Poestaka beralih ke Djawa Baroe, muncul generasi penyair yang melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan seni yang diperuntukkan sebagai kaki tangan propaganda Jepang, meski sebagian penyair Indonesia telah bergabung ke Keimin Bunka Sidhosa dengan argumen, Jepang mendukung penguatan Bahasa Indonesia. Namun, di sisi lain, Chairil Anwar dan kawan-kawannya yang melihat aspek propaganda politik Jepang lebih dominan dibanding untuk memajukan kebudayaan Indonesia, menolak bergabung dan mengembangkan pikiran-pikiran mereka sendiri yang kritis. Dalam konteks itu, Chairil banyak menulis konsepsi-konsepsi mengenai seni dan puisi yang berjangkar pada vitalitas individu dan bukan yang berdasarkan pesanan politik tertentu. Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin dan para penyair sezamannya yang punya semangat kritis terhadap pembangunan kebudayaan Indonesia yang mandiri, berkumpul. Dan setelah Indonesia merdeka, dalam suasana dan ekspresi semangat kemerdekaan, pada tahun 1946 mereka mendeklarasikan diri sebagai generasi Gelanggang Seniman Merdeka, serta tiga tahun kemudian pada 1950 menerbitkan sebuah surat terbuka di majalah Siasat pada rubrik kebudayaan Gelanggang, yang bertajuk, Surat Kepercayaan Gelanggang. Sebuah surat yang bisa dikatakan sebagai manifesto kepenyairan generasi ini. Catatannya, Surat Kepercayaan Gelanggang terbit setelah Chairil Anwar wafat, dan turut ditanda tangani oleh beberapa nama penting seperti Pramoedya Anantatoer dan Sitor Situmorang, termasuk H.B. Jassin.
Pada periode ini, kemunculan H.B. Jassin (fase penting 40-70an) semakin pasti meski perlahan. Sosok komentator sastra yang kelak segera dikenal sebagai kritikus sastra yang amat berwibawa, karena ketekunannya dalam mendokumentasikan perbendaharaan sastra semasa karirnya “tanpa bantuan” siapapun, juga terpenting sebab ia rajin membuat ulasan-ulasan atasnya tanpa memandang siapa, yang kemudian ia kirim ke berbagai majalah hingga diterbitkan dalam buku.Pada masa awal karirnya, ia pernah menerima tawaran STA untuk bekerja di Balai Pustaka, hingga menjadi redaktur di majalah Poejangga Baroe. Berikutnya, sejumlah majalah lain juga kemudian ia redakturi, seperti Mimbar Indonesia, bahkan sampai di masa majalah Horison terbit. Peran H.B. Jassin di masa pendudukan Jepang dan generasi seniman Kepercayaan Gelanggang, misalnya adalah mengumpulkan berbagai puisi penyair di zaman ini dan menerbitkannya dalam berbagai antologi, seperti Pancaran Cinta (1946) milik Usmar Ismail dan Gema Tanah Air (1948) yang berisi berbagai puisi dari sejumlah penyair di masa ini. Namun, peran monumentalnya yaitu, mempromosikan secara penuh kelebihan puisi-puisi hingga vitalitas kepenyairan Chairil Anwar. Misalnya, di zaman pendudukan Jepang, ia mengangkat dan membahas empat puisi Chairil: 1943, Hampa, Sendiri dan Selamat Tinggal. Dan seusai masa kemerdekaan, H.B. Jassin terus memajukan Chairil sebagai penyair nomor satu angkatan 45; ia juga kelak memajukan Amir Hamzah sebagai pangeran penyairnya generasi Poejangga Baroe. Untuk Chairil, misalnya H.B. Jassin pernah menerbitkan Deru Tjampur Debu pada tahun 1948. Tidak sebatas itu, H.B. Jassin juga mengenalkan kepada publik luas, bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah sebuah manifesto yang berlandaskan kepada idealisme Humanisme Universal. Sebuah –isme yang kemudian mendapatkan reaksi/kritik keras dari seniman dan penyair generasiLEKRA yang muncul di masa setelahnya.
Di hari kemudian, H.B. Jassin–sebagaimana pengulas puisi zaman sebelumnya–dikenal sebagai Kritikus Sastra yang menggunakan pendekatan impresif: atau masih berpijak pada umumnya kesan/penghayatan pribadi serta penalaran/visi spontan, tanpa harus “pusing” hendak menggunakan pendekatan tertentu. Meski demikian, jejak-jejak teoritik-akademis yang digunakan H.B. Jassin tetap bisa dirasakan. Oleh karenanya, sejak H.B. Jassin pula, tradisi Kritik Sastra akademis sesungguhnya bermula, meski tipis-tipis. Namun sekali lagi, meski begitu, ia tetap memiliki wibawa karena kecerdasannya meletakkan ini dan itu terkait sastra, puisi dan ketokohannya, dengan sebagaimana mestinya dan tidak seenaknya saja. Bahkan, dalam reputasinya itu, dengan agak sedikit hiperbolis, ia kemudian juga dijuluki sebagai Pausnya Sastra Indonesia, yang memiliki wewenang membaptis siapa yang layak menjadi penyair dan tidak di masanya.
Tahun 50 (60-an), merespon situasi politik nasional berupa diplomasi politik yang dilakukan oleh elit demokrat Indonesia pada berbagai pertemuan yang memuncak pada Konferensi Meja Bundar, sejumlah seniman Indonesia yang berhaluan pada politik rakyat yang revolusioner dan berpendapat bahwa revolusi nasional telah gagal, berkonsolidasi dan membentuk lembaga kebudayaan rakyat (LEKRA). Angkatan Kepercayaan Gelanggang/45 yang eksponen utamanya telah wafat (Chairil), kemudian satu dua anggotanya bergabung ke LEKRA seperti Rivai Apin dan Pramoedya Anantatoer. Sebab posisi LEKRA yang merupakan underbow partai PKI yang sedang menguat secara nasional dengan dukungan dari pemerintahan Soekarno, kondisi kritik puisi di masa ini pun kemudian semarak dengan pandangan-pandangan revolusioner bahwa puisi yang baik adalah puisi yang bisa mewakili aspirasi rakyat kelas bawah yang menjadi tulang punggung revolusi Indonesia. Puisi-puisi yang sibuk hanya pada estetisisme tanpa keberpihakan yang jelas pada aspirasi politik rakyat dianggap sebagai puisi yang tidak berarti. Seni haruslah untuk rakyat dan bukan untuk kesenangan segelintir orang di kelas tertentu. Sebuah idealisme berkesenian yang menggabungkan antara Realisme Sosial dan Romantisisme Revolusioner. Di masa ini, Pramoedya Anantatoer mengasuh rubrik Lentera untuk majalah Bintang Timur terbitan LEKRA. Dalam rubrik ini, tulisan-tulisan seputar kritik puisi berhaluan kiri muncul dari A.S. Dharta (yang merupakan penyair sekaligus salah satu pendiri LEKRA), Boejoeng Shaleh, Bakri Siregar dan tentu dari dari Pram sendiri.
Sebab hegemoninya yang cukup kuat selama hampir 10 tahun, tepatnya pada tahun 1959, Sitor Situmorang yang merupakan bagian dari Dewan Nasional perwakilan golongan seniman, mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang menempatkan lembaga ini sebagai underbow dari Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah persetujuan Soekarno. Lembaga ini didirikan sebagai perimbangan (ideologis) LEKRA yang semakin menguat dan mengakar. Namun, meski begitu, pada kenyataannya, alih-alih mengimbangi, kemunculan LKN justru memperkuat/menjadi pendukung dari berbagai agenda kebudayaan revolusiner yang didorong oleh LEKRA. Sitor dalam hal ini seakan-akan telah menjadi kepanjangan tangan Soekarno yang semakin kekirian dan semakin menganggap berbagai kesneian yang dikembangkan oleh Barat (seperti Rock dan seni Abstrak) sebagai seni dekaden yang tak berguna dan merusak mental. Perlahan tapi pasti, Sitor menyensor berbagai karya yang tidak sejalan dengan pandangan-pandangan revolusioner. Pada situasi ini, ia kemudian menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Zaman Baru (1962). Sebuah kumpulan puisi yang sebagiannya menggambarkan adanya perubahan jiwa masyarakat yang telah menyatu dengan semangat revolusioner. Yangmana di puncak kejayaannya (1963) LEKRA sampai bisa mengklaim bahwa mereka telah memiliki 100.000 anggota dan 200 cabang organisasi yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Merespon kondisi yang demikian, masih pada 1962 Asrul Sani dan Usmar Ismail sebagai eksponen penyair 45 lainnya, mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) di bawah naungan ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Dan tak lama dari itu, setahun setelahnya, sekelompok penyair yang tidak terafiliasi secara politik baik kepada politik kiri, kanan ataupun Islam serta lembaga kebudayaan underbownya masing-masing, mereka yaitu Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, dan lainnya menyatakan sikap dengan menerbitkan sebuah manifesto kebudayaannya sendiri, yang muncul pada terbitan Majalah Sastra tahun ke-3 Agustus 1963. Mereka menerbitkan Manifes Kebudayaan sebagai respon terhadap adanya berbagai kenyataan intoleransi pandangan berkesenian yang ditampakkan oleh para seniman kiri, juga munculnya generasi seniman yang jelas merapat pada afiliasi politik partai (seniman partisan). Sehingga, mereka yang non-partisan seakan-akan hendak menyatakan, bahwa prioritas mereka adalah menyuarakan agar terciptanya kembali situasi berkesenian yang bebas dan tanpa paksaan atau represi ideologis tertentu, hingga harus berafiliasi kepada kepentingan partai tertentu lainnya.
Jika kita baca secara saksama, rangkaian pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam Manifes Kebudayaan, itu tidak lebih adalah pernyataan penebal dari ideologi Humanisme Universal yang pernah diserukan oleh angkatan 45 yang dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan zamannya. Seakan-akan, generasi ini hendak mengembalikan semangat yang pernah diperjuangkan oleh Chairil Anwar namun hampir memudar sebab situasi politik yang cukup tegang. Oleh karenanya, untuk memperbaharui semangat itu, mereka menyuarakannya kembali dengan bahasanya sendiri. Meski demikian, karena memang posisi politik LEKRA yang sangat kuat di masa itu, tekanan terhadap pandangan puisi yang kurang setia pada Humanisme Ploretariat tetap tak terbendung. Bahkan, sebagian penandatangan Manifes Kebudayaan konon mengalami berbagai teror secara mental, selepas Soekarno pada 1964 mengeluarkan larangan secara resmi (dekrit) terhadap siapapun yang masih saja berpegang pada Manifes Kebudayaan yang berarti menyiratkan perlawanan mereka akan intervensi politik pada ranah seni dan kebudayaan yang digalakan rezim. Situasi demikian tidak berubah setidaknya sampai akhir tahun 1965-66, di mana Indonesia mengalami tragedi kemanusiaan yang begitu berdarah dan amat menyedihkan.
Melihay situasi-situasi yang syarat dengan pergolakan politik, dan seni-puisi yang semakin identik dengan berbagai agenda politik nasional dan cenderung mengabaikan aspek-aspek formal puisi sepanjang tahun 50-60an, perlahan tetapi pasti melalui Fakultas Sastra Universitas Indonesianya, H.B. Jassin yangmana ia merupakan pengajar sastra di dalamnya, coba semakin memperkuat pengajaran keilmuan puisi yang memberi fokus kepada pendekatan analitis akademis. Sebagai bagian dari tonggak realisasi itu, pada tahun 1954 di tengah hegemoni pandangan dan Kritik Puisi yang dilancarkanLEKRA, H.B. Jassin menerbitkan buku kumpulan kritiknya yang berjudul Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang, dan Masyarakat. Dan yang tak kalah penting, melanjutkan timeline tahun 60an, pada 25-28 Oktober 1966 bekerjasama dengan Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan (Badan Bahasa) juga IKIP Jakarta, Fakultas Sastra UI, kala itu mengadakan simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, yang berusaha untuk menghidupkan kembali kajian puisi–dan sastra–yang berorientasi pada pengkajian formal yang sempat terjeda oleh kritik puisi (bahkan kajian-kajian formal-analitis yang coba dikembangkan di UI sempat menjadi sasaran kritik pedas oleh Pram) yang bercorak Realisme Sosial. Kegiatan serupa juga diadakan kembali setahun setelahnya pada 30 April 1967 dalam rangka memperingati Chairil Anwar.
Forum diskusi (simposium) kritik sastra kembali diadakan oleh Fakultas Sastra UI pada 31 Oktober 1968. Namun kali ini sedikit berbeda karena menghadirkan Arief Budiman dan Goenawan Mohammad yang coba menggugat dominasi pendekatan formal-analitik ala strukturalisme. Mereka berdua menawarkan sebuah metode yang terinspirasi dari pendekatan psikologi Gestalt, yaitu penerapan model Ganzheit dalam melakukan telaah hingga kritik atas karya sastra. Sedangkan panelis lawannya yang mewakili kelompok akademisi (Fakultas Sastra UI) Rawamangun di antaranya, J.U. Nasution, S.Effendi, Saleh Said, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati dan Lukman Ali yang kesemuanya merupakan anak didik H.B. Jassin. Perdebatan kedua belah pihak tersebut terus berlangsung setidaknya sampai awal tahun 70an. Dan seluruh arsip makalah perdebatan tersebut pada tahun 1978 diterbitkan oleh Lukman Ali dalam buku berjudul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi.
Dari perdebatan kedua belah pihak, makin menguat persepsi di kalangan pegiat sastra, bahwa kritik sastra Indonesia dilihat dari siapa yang melakukan dan kecenderungan modelnya, terbagi ke dalam dua kubu. Yaitu, di satu sisi adakubu peneliti akademis yang berbasis kampus yang dilakukan oleh para dosen atau mahasiswa dengan menggunakan prosedur ilmiah-objektif-terukur (di masa ini dengan penekanan pada penggunaan pendekatan Strukturalis) dengan bentuk akhir publikasi berupa skripsi, tesis, disertasi hingga jurnal, dan di kubu lain ada kubu pelaku sastranya itu sendiri yang melakukan berbagai ulasan terhadap karya satu sama lain dengan pendekatan yang relatif impresif, lebih spontan sehingga bercorak subjektif, dengan bentuk akhir publikasi berupa artikel review hingga esai-esai lepas yang umumnya diterbitkan di surat kabar juga majalah-majalah. Majalah yang mulai naik pamornya di masa ini, yaitu Horison. Dua model kritik tersebut juga biasa dikenal dengan pasangan istilah, kritik akademik ilmiah dan kritik umum non-akademik.
Meski tidak secara langsung, reaksi terhadap kecenderungan formal-struktural dalam kritik, pengkajian, hingga arah metode penciptaan puisi yang kaku atau yang melulu diungkapkan secara konvensional, menimbulkan pula reaksi kritis lainnya yang datang dari sejumlah pegiat puisi di luar Jakarta pada tahun 70an. Sebuah pandangan lain muncul bukan hanya sebagai antitesa teoritik, tetapi memang sekaligus sebagai sebuah modus penciptaan bentuk-bentuk puisi yang coba mengganggu pakem yang sedang semakin dimapankan. Reaksi ini menamakan diri sebagai gerakan Puisi Mbeling, oleh Remy Sylado sebagai penggagasnya, dengan majalah Aktuil sebagai media utamanya. Secara pribadi, ia menolak puisi-puisi pada umumnya yang kerap diidentikkan dengan bahasa yang rumit, berbunga-bunga dan bahkan kadang jadi kabur karena dibuat sedemikian njlimet, sehingga nampak jadi elitis dan terlebih berkecenderungan anti politis, sejalan dengan situasi politik nasional rezim Orde Baru yang nampak menghendaki kesenian yang “anti-politis.” Ia kemudian membuat puisi-puisi dengan bahasa yang sehari-hari saja, mudah dipahami masyarakat umum, bebahasa langsung yang tidak mesti melulu metaforis, ceplas-ceplos, hingga yang bernuansa kritik terhadap kondisi politik, budaya juga sosial yang nyata.
Nama lain yang mulanya juga lahir dari sudut pandang Mbeling dan jadi sama signifikannya adalah Yudistira A.M Massardi dan Sutardji Calzoum Bachri. Namun, jika Yudistira menjadi epigon Remy Sylado, Sutardji pada tahun-tahun berikutnya menjadi signifikan karena segera coba merumuskan kredo berpuisinya sendiri, dan lebih memilih mengirim karyanya ke Horison. Jika Remy Sylado nampak kritis terhadap situasi politik yang ada, Sutardji–sebagaimana seluruh “penyair Horison”–secara tidak langsung justru coba melanjutkan semangat yang pernah diusung oleh kelompok Manifes Kebudayaan dan coba merumuskan konsep puisi yang secara radikal menolak puisi yang dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik atau secara umum khutbah moral. Dalam Kredo barunya, ia mengatakan bahwa wujud kata-kata dalam puisi adalah pesan itu sendiri, bukan amanat-amanat yang berada di baliknya. Di tahun 70an, keduanya menjadi dua sosok yang sangat dikenal publik karena keberanian mereka melakukan eksperimen cara ungkap hingga bentuk puisi yang tidak seperti umumnya. Lebih dari itu, mereka rajin menulis berbagai esai untuk mengungkapkan pandangan-pandangan kritisnya terhadap bentuk-bentuk perpuisian yang sudah ada mendahului mereka.
Meski telah mendapatkan reaksi dari berbagai pihak, corak kritik sastra akademis yang dipraktikkan khususnya di kampus-kampus, tetap terus berlangsung. Bahkan, pada tahun 70-an ini dikuatkan dengan semakin intensnya A. Teeuw berkecimpung dalam dunia sastra Indonesia melalui keikut sertaannya dalam berbagai proyek penataran pelatihan kritik sastra yang diselenggarakan Fakultas Sastra UI dan Badan Bahasa ke berbagai Fakultas Bahasa dan Sastra di kampus lainnya. Di masa-masa ini, A. Teeuw memantapkan perannya sebagai ahli teori sastra lewat penyusunan dan penerbitkan sejumlah buku pengantar yang mendukung pemapanan pendekatan formal struktural secara umum–khususnya bagi para mahasiswa sastra di kampus-kampus. Dua karya pentingnya yang berkaitan dengan ini yaitu, Membaca dan Menilai Sastra (1983), dan, Sastra dan Ilmu Sastra: PengantarTeori Sastra (1984). Perannya yang melengkapi apa-apa yang sejauh ini telah diusahakan H.B. Jassin–khususnya dalam penyusunan kanon kepenyairan, sebenarnya sudah dimulai sejak ia menerima menjadi dosen tamu di Fakultas Sasra UI pada tahun 1950-1951 seraya menyusun buku Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru yang kemudian terbit pada tahun 1954. Waktu yang beriringan dengan penyusunan buku kritik sastra H.B. Jassin yang sudah disinggung, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Pada tahun 1967 ia kemudian menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris dan memperbaiki isinya menjadi Modern Indonesian Literature. Pada tahun 1980 kemudian menerbitkan Sastra Baru Indonesia dan buku Tergantung pada Kata yang merupakan sampel dari jenis buku Kritik Sastra yang ditulisnya lagi setelah Pokok dan Tokoh.
Sapardi Djoko Damono, sebagai salah satu penyair angkatan 70an dan sekaligus murid dari H.B. Jassin, di akhir tahun 70an juga mulai menerbitkan buku teori sastranya, meski mulai merambah pendekatan lain, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), yang kemudian dilanjutkan dengan terbitnya Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad.
28 Oktober tahun 1984, di Jogja ada helatan simposium sastra yang menghadirkan para pegiat dan kritikus sastra,misalnya ada Budi Darma, Umar Khayyam, Sapardi Djoko Damono di sana. Dua pembicara yang menjadi figur utama dalam simposium tersebut yaitu, Arif Budiman dan Ariel Heryanto mahasiswanya. Arif Budiman yang notabene salah satu penanda tangan Manifes Kebudayaan, pada presentasinya justru menyatakan sebuah kritik yang agak menantang, bahwa, kesusasteraan Indonesia di saat itu memerlukan karya-karya yang bisa memotret kondisi masyarakat dan menyerap aspirasi mereka dengan sejernih-jernihnya dan sejujur-jujurnya. Mengingat, kondisi Indonesia yang nampak stabil tetapi sebenarnya sedang diselimuti oleh hegemoni dan eufimisme rezim. Suara yang mirip dengan apa yang pernah disampaikan oleh seniman LEKRA tahun 1950an. Ariel Heryanto dalam kesempatan itu kemudian yang mencetus nama Sastra Kontekstual dengan penekanan bahwa sastra itu harus dipandang tidak hanya sebagai objek teks yang tertutup dari konteks sebagaimana cara pandang pendekatan strukturalis. Pandangan ini juga memberi garis tebal bahwa karya sastra tidak bisa dipandang sebagai karya yang universal begitu saja, tetapi sebagai karya yang punya konteks yang khusus. Presentasi serta ide-ide Arif Budiman dan Ariel Heryanto kemudian mendapatkan respon dari kalangan penyair khususnya mereka yang memang masih mendukung semangat Manifes Kebudayaan dan Humanisme Universal yang diusungnya. Abdul Hadi W.M. misalnya, menurunkan sebuah tulisan yang cukup tegas untuk menanggapi kritik Arif Budiman yang berjudul, “Sastra Besar Tidak Keluar dari Slogan”.
Di masa ini, muncul juga sebuah nama yang lahir dari rahim akademik UGM, Jogja, yang mulai menanamkan perannya dalam soal pengkajian hingga kritik sastra dan puisi. Ia adalah Rahmat Djoko Pradopo. Sebagaimana Sapardi, ia sebenarnya sudah mulai memasuki dunia kesusasteraan setidaknya sejak tahun 70an. Akan tetapi, menjadi signifikan karena buku-buku teoritiknya yang diterbitkan mulai tahun 80an. Bahasa Puisi Penyair Utama Indonesia Modern (1985), Pengkajian Puisi (1987), Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (1988), Beberapa Teori dan Metode Kritik Sastra (1995) dan yang terakhir Kritik Sastra Indonesia Modern (2003) yang merupakan hasil dari penelitian disertasi yang sudah diselesaikannya di tahun 1989.
Memasuki tahun 90an, ada yang berpandangan bahwa perkembangan kritik sastra khususnya kritik puisi di Indonesia dianggap meredup atau bahkan mati, karena matinya majalah Horison yang menjadi ruang dominan sepanjang tahun 70-80an serta semakin hilangnya pamor kritik akademik pasca terjadinya perbalahan kritik kontektual. Akan tetapi, sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Kalaupun iya, itu hanya pada satu sisi saja. Ketika kita melihat di sisi yang lain, di sana kita menemukan justru adanya benih-benih pertumbuhan keilmuan sastra tumbuh. Seperti, mulai munculnya pendekatan Sosiologi Sastra, Psikologi Sastra, pendekatan Feminis lewat munculnya berbagai penulis perempuan yang b mengusung ide-ide kesetaraan Gender, Cultural Studies, New Histiricism hingga sejumlah pendekatan post/pasca-modernisme yang turut juga mewarnai seperti terdpat dalam gagasan-gagasan tentang Kritik Puisi yang dibawa oleh Afrizal Malna. Kesemuanya itu mewarnai landscap ide-ide kritik dan kajian puisi di tahun 90-an. Lebih dari itu, munculnya kritik puisi yang kembali keras terhadap kondisi rezim yang semakin represif (misalnya lewat pembredelan sejumlah media dan penekanan terhadap berbagai ormas) serta terhadap puisi-puisi yang tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial, alih-alih terus terlena dan syik mansyuk dengan anggur dan rembulan; atau dengan meminjam istilah kritik seni di Prancis, mereka disindir sebagai sekelompok penyair salon. Dua tokoh yang tidak bisa kita abaikan dalam hal ini, yaitu Rendra dan WidjiThukul yang keduanya pernah diburu dan ditangkap oleh rezim, bahkan salah satunya dihilangkan nyawa dan tubuh tanpa jejak.
Kira-kira, seperti itulah horizon tradisi Kritik Sastra Indonesia sejak zaman Balai Pustaka hingg tahun 90an yang penuh dengan dinamika dan keseriusan yang tidak main-main. [Bersambug…]
Cirebon, April 2024
- Melihat (Laut) Indonesia - 19 April 2025
- Lagi, Halusinasi Estetik di Tengah Bencana Sosial! - 17 April 2025
- Mencari Pelanjut Abdul Hadi W.M.: Tanggapan atas Esai Ahmadun Yosi Herfanda - 15 Maret 2025