Heru Joni Putra: Mengikuti DKJ adalah Tantangan untuk Menerima Kritik

Heru Joni Putra: Mengikuti DKJ adalah Tantangan untuk Menerima Kritik

Ngobrol bersama Heru Joni Putra, Juara Kedua Sayembara Puisi DKJ 2023

Selain Muhaimin Nurrizqy, Heru Joni Putra merupakan salah satu penyair asal Sumatera Barat yang mendulang sukses di Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2023. Dewan Juri sepakat mengatakan bahwa manuskrip yang berjudul “Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan berhak diganjar sebagai juara 2 Sayembara DKJ Puisi 2023.

“Manuskrip ini mengaitkan mikrokosmos dan makrokosmos serta merayakan momen-momen selintas yang diatur dengan transisi peristiwa atau kontraperistiwa secara halus sehingga menjadi semesta yang kokoh, utuh, harmoni; lincah berjalan di atas tema licin yang pada banyak kesempatan cenderung membuat puisi jatuh ke dalam klise. Kejutan-kejutan dari persandingan diksi diperhitungkan dengan presisi sehingga tak menggores ruang kosong di mana makna bisa dimungkinkan sekaligus membiarkan tempat suwung itu tetap enigmatik. Gimmick juga kerap bukan dihadirkan melalui permainan kalimat, melainkan dari kronik peristiwa, dan sebagian besar puisi ditutup dengan ‘pernyataan’ kontemplatif yang menghentak kesadaran.” Begitu kata Dewan Juri DKJ Puisi 2023 yang ditulis melalui Laporan Pertanggungjawaban.

Menurut mereka pula, manuskrip tersebut dikomunikasikan dengan jernih dan sederhana (tapi kompleks dalam pemaknaan), rata-rata puisi dalam manuskrip ini tampil berupa larik-larik ringkas yang bertumpu pada retorika (dan karenanya: alegori) untuk memancarkan refleksi diri, membentuk kuasifilosofi yang dipantulkan dari objek-objek ‘remeh’ atau imitasi fenomena, juga untuk merangkai paradoks-paradoks yang menciptakan dunia ‘baru’.

Untuk itu kami tertarik untuk ngobrol dengan penyair yang punya segudang prestasi ini. Berikut petikan bincang-bincang kami melalui aplikasi Whatsapp, Kamis (03/07/2023).

Selamat malam Bang Heru Joni Putra. Gimananih, perasaannya selepas menang DKJ Puisi 2023? Berhubung, sebelum-sebelum ini, sudah sering mendapat pengakuan serupa hehe.

Selamat malam, kawan! Saya beberapa kali ikut sayembara DKJ dan baru kali ini saya masuk ke dalam daftar 8 besar bersama penyair lainnya. Alhamdulillah ini turut mendorong saya agar lebih banyak menahan diri. Ketika kita diberi rejeki maka di situ pula ada ujian bagikolbu kita. Dalam pertemuan terakhir saya dengan guru agama saya, Syech Khatib Ilyas Al-Khalidi (1922-2023) di Surau Irsyadul Ibad, Titian Dalam, Kab. 50 Kota, beliau mengingatkan kembali agar saya benar-benar memahami bahwa segalanya terjadi bukan karena diri saya sendiri ataupun orang lain, melainkan semata karena Allah SWT.

Seberapa penting bagi Heru Joni Putra akan penghargaan seperti Sayembara DKJ 2023 ini? Apa yang sebenarnya ingin dicapai?

Ketika naskah buku saya selesai, saya selalu menghubungi beberapa orang dan meminta mereka memberikan kritik yang tajam. Sejauh ini, saya selalu terbantu oleh berbagai kritik atas naskah saya. Misalnya beberapa tahun sebelum saya akan menerbitkan buku Badrul Mustafa, ketika kami masih tinggal di Sumatra Barat,para sahabat misalnya seperti Iyut Fitra, Fariq Alfaruqi, atau EshaTegar Putra memberikan pandangan kritisnya atas naskah saya. Atau ketika saya akan menerbitkan buku non-fiksi Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka, para sahabat seperti Dhianita Kusuma Pertiwi dan Moh. Dandy memberikan kritik juga, bahkan pada soal gaya berbahasa saya. Tanpa kritik mereka, mungkin buku itu sangat berbelit-belit untuk dibaca. 

Dengan kata lain, ada jalan yang berbeda untuk memahami karya sendiri lewat sudut pandang orang lain. Tak jarang, dengan adanya pembacaan orang lain, saya jadi tersadar bahwa sesuatu yang anggap sudah bagus ternyata hanya luapan berlebihan perasaan saya saja. Semacam gejolak diri yang tak terkendali. Namun, ketika sudah dikritik oleh orang lain dan saya coba renung-renungkan, barulah saya mulai menyadari apa yang harus saya perbaiki.

Hal yang sama, bagi saya, juga menjadi bagian penting dalam Sayembara Manuskrip DKJ ini: Dewan Juri tak hanya menjabarkan apa yang mereka sebut sebagai kelebihan karya, tetapi juga kekurangan. Lagi-lagi, saya merasa sangat terbantu sekali dengan kritik dari Dewan Juri untuk menyadari bahwa “eksperimen” yang saya lakukan, khususnya di beberapa puisi, butuh perlakuan yang berbeda dari sebelumnya. Yang ingin saya dapatkan dari hal seperti ini salah satunya adalah tantangan baru bagi diri sendiri untuk menerima kritik. Selama beberapa waktu, atas nama sesuatu yang mesti diubah secara progresif, saya pernah menjalani hidup dengan hati yang butuh waktu lama dalam menerima kritik dan itu rasanya tidak menyehatkan sekali bagi jiwa saya. Saya berharap bisa terlempar jauh dari kondisi-kondisi yang seakan-akan heroik tapi sebenarnya hanya membuat hati semakin keras.

Di salah satu obrolan dengan KaBalai BPNB Sumbar melalui sebuah podcast Youtube-nya, Anda bilang, kalau seni itu adalah pikiran yang diberi bentuk. Pikiran itu abstrak. Lalu kita memberi bentuk pada pikiran itu. Nah kemudian, bentuk yang dipilih adalah puisi. Jika begitu, puisi itu sama dengan corong atau jalan untuk menyampaikan sesuatu, baik itu kegundahan hati, sampai ke kritik, nasihat, dan sebagainya. Mungkin bisa jelaskan secara spesifik maksudnya bagaimana?

Sejauh ini saya menulis puisi dengan terlebih dahulu membayangkan gagasan utamanya. Adapun gagasan utama itu merupakan hasil olah pikiran dalam rentang waktu lama yang saya lakukan terkait suatu kenyataan sosial yang saya hadapi langsung. Dalam buku Badrul Mustafa misalnya, saya menghadapi kenyataan yang menyakitkan perihal kehidupan beragama yang berbagi racun dengan kehidupan politik, baik di Sumatra Barat ataupun Indonesia secara umum. Saya mencoba pelan-pelan menghadapi situasi itu sambil mencari berbagai bacaan, mengikuti diskusi, serta mengamati kejadian-kejadian langsung untuk memahaminya dengan berbagai cara. Dari situ kemudian muncul suatu gagasan untuk merespons kondisi itu, yang tak lagi sebatas lewat tindakan langsung, tetapi juga dengan karya sastra. 

Setelah saya membangun suatu gagasan, kemudian barulah saya membuat gagasan yang abstrak itu jadi kongkret melalui puisi demi puisi yang saya tulis. Tapi buru-buru harus saya sampaikan bahwa gagasan utama itu setidaknya hanya menyangkut hal-hal tertentu saja, misalnya: bentuk-bentuk kenyataan yang seperti apa yang saya bangun puisi-puisi dan sudut pandang seperti apa saja yang akan digunakan narator dalam menghadapi kenyataan itu. Sedangkan hal-hal yang lebih detail seperti topik-topik yang akan diangkat per puisi dan bentuk setiap puisi serta elemen-elemen yang menyusunnya itu sangat dipantik oleh “momen-momen puitik” yang saya hadapi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, gagasan utama yang abstrak itu hanya semacam kerangka saja, sedangkan penerapannya dalam bentuk puisi tidak bisa dipikirkan secara pasti sejak awal. Apa yang saya sebut sebagai gagasan utama itu bertarik-ulur dan berlintang-pukang dengan kenyataan yang sedang saya hadapi dan itulah justru salah satu faktor yang menentukan seperti apa wujud puisi yang akan saya tulis nantinya. Yang jelas: apa yang direncanakan dan apa yang muncul sebagai kejutan tak terduga adalah dua hal yang timpal-menimpal dalam menulis puisi.

Artinya harus punya labor bahasa, dalam artian labor menulis yang memuat calon-calon naskah sebelum menjadi manuskrip jadi. Kalau begitu, akan ada riset jauh-jauh hari. Begitu, kan?

Ya, benar sekali dan itu tentu saja sesuatu yang sangat lumrah sekali. Seorang penulis mempunyai semacam labor bahasa seperti itu, yang mana di dalamnya barangkali ada setumpuk buku tentang kosakata yang menarik perhatiannya, lalu setumpuk buku lain tentang kepingan-kepingan frasa atau diksi yang disimpannya untuk digunakan di kemudian hari, dan semacamnya. Dan kalau soal riset, saya kira itu bukan hal unik atau baru dalam menulis puisi. Sejauh yang saya tahu, itu kan memang sudah menjadi bagian integral dalam kerja kepenulisan. Barangkali saja, yang membedakan satu penulis dengan yang lainnya, misalnya metode penelitian. Kalau pengalaman saya, semua itu mesti dimulai dari pengalaman langsung pada waktu yang cukup lama dalam menghadapi situasi sosial tertentu. Setelahnya, baru saya cari kemungkinan-kemungkinan lain dalam memahami situasi tersebut.

Merujuk penjelasan Anda di malam Anugrah Sayembara Puisi DKJ 2023, yang mengatakan kalau naskah ini lahir dengan harapan agar kita tidak  putus asa untuk mencari ilmu sekaligus menyadaribetapa terbatasnya ilmu pengetahuan kita (manusia) untuk memahami dunia. Mungkin bisa dijelaskan lebih detil, bagaimana sebenarnya isi naskah ini?

Saya coba ya menjabarkannya secara ringkas. Mudah-mudahan cukup mewakili. Dalam gagasan awal penciptaan manuskrip “Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan”, saya membayangkan tentang narator aku, kita, ataupun kau yang menjalani hidup sehari-hari, dengan berbagai jalinan peristiwa di dalamnya, baik terkait hal-hal  yang dianggap kecil dan hal-hal yang dianggap besar, secara setara. Dan dalam situasi ingin berupaya memahami segalanya itu, dalam diri si aku terdapat upaya yang tak kalah lebih besarnya untuk menyadari ketidaktahuannya tentang apapun yang terjadi di dunia ini, baik terkait hal remeh-temeh ataupun hal-hal yang dianggap gigantik. Secara garis besar, begitulah landasan penciptaan satu puisi dengan puisi lainnya, namun setiap puisi tidak menyampaikan hal itu secara total dengan cara yang sama. Sebaliknya, setiap puisi bergotong-royong satu sama lain untuk menyampaikan hal tersebut dengan strategi bentuk dan isi masing-masing. Jadi semua puisi dalam manuskrip ini saya tulis dengan kadar keterhubungan dan ketidakterhubungan masing-masing. Meminjam istilah Minangkabau, saya menulis sebuah buku puisi dengan mempertimbangkan “adat sabatang panjang” yang mengaitkan semuanya dan di saat yang sama mempertimbangkan “adat salingka nagari” yang membedakan satu sama lain.

Dalam kumpulan puisi pada buku Badrul Mustafa sebelumnya, puisi-puisi yang dimuat dimulai dari tahun sebelum 2010-an, sampai tahun 2016. Berarti keseriusan Anda dalam mendalami dunia puisi sudah termasuk lama, ya?

Barangkali soal lama atau tidaknya sangat relatif ya. Tapi, yang jelas, saya secara informal mulai mempelajari puisi sebagai sebuah seni semenjak tahun 2006 sampai 2009 di Payakumbuh bersama Feni Efendi, Iyut Fitra, dan Gus tf. Lalu, secara formal, tahun 2009 -2015 saya kuliah di Sastra Inggris, Universitas Andalas. Hanya di dua kesempatan itu saya mencoba memaksimal diri untuk belajar puisi dengan guru yang jelas. Saya memang sempat berhenti sejenak menulis puisi tahun 2011-2012 karena waktu itu saya sedang senang-senangnya menulis esai untuk media massa.Selebihnya, selain dengan cara berguru langsung,saya hanya “belajar bersama lingkungan berkawan” saja. Kawan diskusi juga guru bagi kita.

O ya, kembali ke awal, jika dibanding buku Badrul Mustafa, apa perbedaan paling kentara dengan Manuskrip Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan?

Saya pernah mendapatkan pertanyaan yang sama dari kawan saya. Jadi, saya jawab dengan jawaban yang sama pula, ya:

Buku saya sebelumnya (Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa, 2017) dan naskah baru ini di satu sisi sama-sama memperkarakan keakuan manusia. Namun di sisi lain, yang menjadi bedanya, bila pada buku sebelumnya keakuan itu saya sampaikan umumnya dengan strategi satire, sarkasme, permainan bentuk sastra lama, dan naratif maka di naskah baru ini umumnya saya sampaikan melalui strategi imajisme, minimalisme, sedikit humor, dan lirikal. Selain itu, di buku sebelumnya, keakuan itu saya sampaikan dengan menciptakan tokoh fiktif sebagai sosok anti-hero yang cenderung absurd, sedangkan di buku sekarang saya sampaikan melalui aku-lirik yang berwatak aktif sekaligus pasif tanpa harus jatuh ke posisi agresif ataupun terombang-ambing di saat yang sama.

Di karya “Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan” ini, saya tidak lagi mengolah bentuk karya sastra lama (sebagaimana yang saya lakukan secara menyeluruh dalam buku sebelumnya), karena memang tidak ada kebutuhan untuk melakukan itu untuk menyampaikan tema “keterbatasan pengetahuan” yang ingin saya sampaikan kali ini. Kalaupun ada di satu puisi berjudul “Murid Mencari Guru” yang mengandung anasir sastra lama, itu hanya untuk membangun nuansanya saja, yang memang perlu saya terapkan sesuai kebutuhan karya itu sendiri. Selain itu, kali ini saya cukup sering (meski tak sepenuhnya) menggunakan diksi atau frasa yang berpotensi dianggap klise, kaku, longgar, dan receh.

Saya memang sengaja melakukannya dengan tujuan untuk memberikan nuansa yang sekilas terasa hambar dan seakan-akan datar di dalam puisi-puisi yang sedang khusyuk bersoal tentang keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami alam raya ini. Secara personal, melalui naskah baru ini, saya ingin menantang diri saya sendiri untuk melakukan strategi-strategi menulis yang dulu tidak terlalu saya sukai, bahkan saya hindari, termasuk dari segi pemilihan diksi dan frasa yang seperti itu.

Berarti, tidak hanya tematiknya saja yang berbeda, tetapi juga termasuk gaya ungkap dan bentuknya juga berbeda. Apakah di naskah terbaru, bakal menjadi ciri khas seorang Heru Joni ke depannya dalam menulis puisi? Atau akan terus berkesperimen dengan gaya dan cara berbeda?

Persis. Sejauh ini saya tidak kepikiran untuk mempertahankan suatu bentuk sebagai ciri khas. Semua percobaan berlangsung sebagai bagian dari gagasan yang sedang saya garap. Kalau memang saya butuh mengeksplorasi khazanah sastra lama seperti pantun, maka saya akan mempelajarinya lebih mendalam. Kalau rencana berikutnya tidak membutuhkan eksplorasi pantun, maka saya berpantun-pantunnya di luar karya saja (seperti di media sosial misalnya) tanpa perlu memaksakannya menjadi ciri khas dalam puisi. Dalam hal ini, saya belum terlalu berminat pada upaya-upaya “mempertahankan ciri khas” seperti itu.

Atau jangan-jangan, dengan tidak mempertahankam suatu bentuk ciri khas, justru itulah ciri khas Anda dalam berpuisi? Hehe.

Nah artinya ciri khas tidak perlu dicari-cari kan ya. Bahkan ketika tidak terlalu peduli pada ciri khas, toh pada gilirannya itu bisa jadi ciri khas. He he he.

Benar juga. Kalau begitu, bagaimana agar orang bisa mengingat dan mengenal puisi-puisi Anda?

Kalau sebagai penulis, saya pasrahkan saja pada setiap pembaca untuk mengingat dengan jalan mereka masing-masing.

Jika musim sebelumnya, 2021, penyair Sumbar sukses menyabet juara 2 DKJ Puisi 2021. Dan untuk tahun 2023, tidak tanggung-tanggung, 4 orang penulis Sumbar berhasil bertengger di peringkat 1 dan 2. Baik itu kategori puisi maupun novel. Artinya, hampir semua juara digondol oleh sastrawan Sumbar. Menurut Anda, apa yang bisa disimak dari hal tersebut?

Saya senang sekali mengetahui bahwa pemenang lain dari Sumatra Barat, yaitu Bung Haris, Bung Imin Markimin, dan Bung Yoga, berasal dari lingkungan yang berbeda-beda: satu Solok Selatan, satu lagi Padang, kemudian Batu Sangkar, dan sebelumnya mereka belum saling mengenal. Dibanding ketika saya masih kuliah dulu, kita relatif tahu siapa saja penulis dari Sumatra Barat. Artinya, penulis di Sumatra Barat kini tumbuh di banyak daerah, beragam latar belakang akademik, dengan cara belajar yang berbeda, dan jejaring komunitas yang berbeda-beda pula. Ini tentu sebuah perkembangan yang menurut saya lebih baik, apalagi di tengah semakin semaraknya dunia kepenulisan di Sumatra Barat kita pelan-pelan bisa saling mengenal satu sama lain.

Apakah ini juga menandakan kalau penulis Sumbar setingkat lebih berkembang dari daerah lain?

Kalau itu saya tidak bisa menjawab.  Dan tidak akan ada jawaban yang memadai karena setiap daerah punya kondisi yang berbeda-beda. Saya hanya bisa bicara tentang Sumatra Barat, itu pun dengan pengetahuan yang juga terbatas.

Jawaban aman hehe. Baik, kalau menurut Anda, bagaimana prospek penyair Sumbar ke depannya? Apakah bakal masih bisa mendominasi penghargaan-penghargaan sastra?

Persis. Jawaban paling aman adalah jawaban sebatas apa yang diketahui. Dan untuk pertanyaan ini, lagi-lagi saya akan memberikan jawaban aman: hanya Tuhan yang tahu. Saya hanya bisa berharap, sebagaimana nasihat para penulis sebelum saya, semoga saja suatu penghargaan bukan menjadi pencarian utama.

Kita berandai-andai, ya. Berhubung salah satu kebiasaan DKJ dalam memilih juri adalah salah satunya diambil dari juara DKJ sebelumnya. Jika sumpama yang diambil sebagai juri adalah seorang Heru Joni Putra, naskah seperti apa yang bakal Anda cari untuk juara DKJ?

Setahu saya, dari proses kerja yang disampaikan Dewan Juri DKJ kemarin, satu orang tidak bisa menentukan sendiri kriteria naskah yang akan dinilai. Semua juri mesti berembuk menyusun kriteria yang dapat disepakati bersama. Kalau kita berandai-andai ya seperti yang Anda sebutkan, bila masih ada pilihan lain, alangkah baiknya juri tahun depan bukan saya, ini berandai-andai tadiya. Selain yang sudah ada, beberapa contoh penyair seperti Nirwan Dewanto, Gus tf, Ahda Imran, Raudal Tanjung Banua, Ari Pahala Hutabarat, ataupun Zen Hae lebih layak jadi juri karena pengalaman, wawasan, dan ketelitian mereka yang mengagumkan. Saya sering meminta pendapat ataupun mendengar kupasan mereka terhadap puisi dan saya banyak belajar dari mereka.

Apakah Manuskrip Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan, bakal terbit tahun ini? Kalau iya, mungkin bisa kasih bocoran dikit.

Dalam rencana, pertengahan tahun depan. Semoga saja lancar.

Semoga secepatnya, ya. Oke Bang. Terima kasih. Sukses terus ke depannya.

Baca Juga:

Selamat Malam, Kawan! Manuskrip Puisi yang Merangkul DKJ

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *