Di sebuah sudut kecamatan kecil yang terletak di pinggiran sebuah kabupaten, Lurah Alizar berdiri di beranda rumahnya, menyaksikan lalu- lalang warganya yang sibuk memulai pagi. Pemandangan ini, layaknya hari-hari lalu, seharusnya mendamaikan jiwanya. Namun, di pagi itu, justru rasa gelisahlah yang tumbuh dalam hatinya. Betapa tidak, hari-hari terakhir masa jabatannya mulai terasa menyiksa, seolah waktu berjalan lambat, menunggu saatnya pengungkapan kebenaran yang pasti akan menghancurkan reputasinya.
Alizar sudah menjabat selama dua periode dan selama itu pula ia berhasil menyamarkan berbagai praktik korupsi yang dilakukannya. Setiap kali dana desa cair, sebagian besar uang itu mengalir ke kantong pribadi dan kroninya. Ia tahu ini salah, namun dorongan untuk mempertahankan gaya hidup mewah membuatnya terus melangkah di jalur kelam.
Saat menjelang akhir masa jabatannya, suara-suara ketidakpuasan mulai muncul dari masyarakat. Miris sekali, sebagian warga desa yang dulunya menghormatinya kini mulai berani bersuara. Mereka mulai mencium bau busuk. Dana yang seharusnya diperuntukkan untuk pembangunan fasilitas umum justru meriap tak jelas. Jembatan yang dijanjikan tak kunjung selesai, sementara infrastruktur lainnya terbengkalai.
Kepanikan semakin menghantui Alizar saat rumor tentang audit keuangan desa mulai beredar. Warga mendengar kabar bahwa tim auditor akan datang untuk memeriksa penggunaan dana desa.
“Ini tidak mungkin!” teriaknya dalam hati, merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Semua dokumen yang ia siapkan disadarinya mulai berubah menjadi ancaman besar.
Tanpa menunggu lama, ia segera menghubungi Tanjung, sekretarisnya yang setia. “Tanjung, semua berkas harus rapi! Kita tidak bisa membiarkan mereka menemukan sesuatu yang mencurigakan,” katanya dengan nada memaksa, saat sudah di ruangannya. Tanjung, yang selama ini mengawasi jalannya proyek-proyek, tahu betul tentang kejanggalan yang terjadi. Kali ini ekspresi Tanjung hanya bisa mengangguk.
Hari-hari berlalu dengan cepat, tekanan semakin berat. Di sela-sela kesibukannya, Alizar sering teringat akan janjinya kepada warga. Janji untuk meningkatkan kesejahteraan dan membangun desa yang lebih baik. Namun, semua itu hanya tinggal kata-kata manis belaka. Ia menyadari, semua kebohongan yang tertanam dalam diri dan jabatannya mulai terkuak.
Suatu malam, saat ia berada di ruang kerjanya yang penuh dokumen, ada ketukan di pintu. Tanjung masuk dengan wajah cemas. “Pak, ada warga yang mengumpulkan tanda tangan untuk memprotes proyek jembatan yang mangkrak. Mereka merasa ditipu,” katanya.
Alizar merasakan perutnya mual. “Ini harus segera dihentikan. Kita harus mengalihkan perhatian mereka,” ujarnya, berusaha tetap tenang. Tanjung lantas mengajukan beberapa ide, mulai dari mengadakan acara bersih-bersih desa hingga mengundang warga untuk makan bersama.
Namun, semua itu terasa tidak mempan. Seiring waktu yang semakin mendesak, Alizar merencanakan langkah yang lebih ekstrem. Ia mengumpulkan rekan-rekannya yang selama ini mengandalkan aliran dana dari proyek desa. Mereka merencanakan untuk menyuap sejumlah tokoh masyarakat agar menghentikan protes tersebut.
Saat harapan semakin menipis, berita tentang korupsi Lurah Alizar mulai menyebar di berbagai media online dan media sosial. Berita itu mencuat ketika seorang warga, yang mengetahui praktik curang Alizar, berani angkat bicara dan membagikan bukti-bukti melalui platform digital. Dalam hitungan jam, berita itu memviral, dan nama Lurah Alizar tercantum dalam daftar pejabat korup yang dibahas di berbagai forum online.
Keresahan mulai menyelimuti kediaman Alizar. Ia dapati istrinya, Rini, duduk di sudut ruang tamu. Wajah Rini tampak kusut. Anaknya, Danu, yang biasanya ceria, kini lebih banyak berdiam diri di kamar. Keluarga yang dulu dipenuhi tawa kini dihantui rasa malu dan stres akibat ulahnya. “Ayah, kenapa semua orang membicarakan kita?” tanya Danu dengan nada penuh kebingungan.
Alizar berusaha menenangkan anaknya. “Ini semua hanya rumor, Nak. Nanti akan reda,” jawabnya, meski hatinya bergetar ketakutan. Ia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari perbuatan curangnya.
Namun, ketakutan itu tak menyurutkan niat Alizar untuk berusaha melindungi diri. Segera dikumpulkannya tim penasihat hukumnya, sebuah kelompok yang selama ini membantunya menyamarkan jejak-jejak korupsi.
“Kita perlu bertindak cepat,” ujarnya dengan suara tegas. “Saya tidak boleh sampai tertangkap. Kita harus menyogok hakim dan jaksa untuk mengalihkan perhatian dari kasus ini.”
Tim penasihat hukumnya, yang terdiri dari pengacara-pengacara berpengalaman, setuju untuk membantu. Mereka menyusun rencana untuk memberikan uang sogokan kepada pihak-pihak yang berwenang. “Jika kita bisa mengendalikan situasi ini, kita mungkin bisa menghindari hukuman yang lebih berat,” kata salah satu pengacara, dengan senyum licik di wajahnya.
Di tengah kegentingan ini, Alizar juga berusaha mencari dukungan dari rekan-rekannya di pemerintahan, baik tingkat provinsi maupun pusat. Ia mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa anggota legislatif untuk membahas strategi agar berkilah dari jeratan hukum. Namun, saat ia mengungkapkan rencananya untuk menyogok, salah satu rekannya, Heru, memperingatkannya.
“Ini berbahaya, Alizar. Jika sampai terungkap, bukan hanya jabatanmu yang hilang, tetapi juga kita semua bisa terjerat.”
Alizar tetap pada pendiriannya. Ia merasa terdesak dan tidak ada pilihan lain. Dalam pikirannya, satu milyar adalah investasi kecil untuk melindungi karier dan kebebasannya. Ia mulai mengumpulkan uang untuk disiapkan sebagai sogokan. Di rumah, saat istrinya bertanya tentang semua uang yang ia kumpulkan, ia hanya menjawab, “Ini untuk masa depan kita, Rini.”
Rini tidak percaya. Ia tahu suaminya terlibat dalam korupsi dan mulai makan hati. Keluarga mereka, yang dulunya harmonis, kini dipenuhi ketegangan. Rini berusaha mengingatkan suaminya untuk berbuat baik dan memperbaiki kesalahan, tetapi semua itu terhalang oleh ambisi dan ketakutan Alizar.
Hari-hari semakin dekat menuju batas akhir audit. Media massa semakin gencar membongkar praktik-praktik kotor yang terjadi di Desa Enggan Makmur. Di berbagai head-line media terpampang berita tentang dugaan korupsi yang melibatkan Alizar, lengkap dengan foto-foto proyek yang mangkrak. Semua mata tertuju padanya, dan ia semakin merasa tertekan.
Akhirnya, hari audit pun tiba. Tim auditor yang terdiri dari pegawai pemerintah pusat datang dengan serangkaian pertanyaan yang siap dilontarkan. Alizar berdiri di depan tim, berusaha menunjukkan senyum terbaiknya. “Selamat datang di Desa Enggan Makmur. Kami sangat siap untuk diperiksa,” ujarnya, berusaha tampil percaya diri.
Namun, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin terkuak rentetan keganjilan. Alizar merasakan tenggorokannya kering saat mendengar pertanyaan-pertanyaan tajam dari tim auditor. Mereka menanyakan tentang penggunaan dana untuk proyek jembatan yang tidak kunjung terlihat.
“Bisa jelaskan mengapa jembatan ini tidak pernah selesai padahal dananya sudah cair?” tanya salah satu auditor. Alizar terdiam, otaknya berputar mencari alasan yang tepat. “Kami mengalami beberapa masalah teknis, tetapi proyek ini akan kami selesaikan segera,” jawabnya, meski dalam hatinya ia tahu itu adalah kebohongan.
Ketegangan meningkat ketika salah satu warga yang hadir sebagai saksi mulai angkat bicara. “Lurah, Anda sudah berjanji akan menyelesaikan proyek ini. Namun, semua itu hanya kata-kata kosong. Dana itu ke mana?” seru warga tersebut, menggema di ruangan itu. Dengung ketidakpuasan mulai bergema di antara warga yang menyaksikan.
Jantung Alizar berdegup kencang. Ia tahu, jika audit ini tidak berpihak padanya, semua yang telah ia bangun akan runtuh. Semakin banyak orang bertanya, semakin dalam lubang yang ia gali untuk dirinya sendiri.
Akhirnya, setelah berjam-jam pemeriksaan, tim auditor keluar dengan kesimpulan awal. “Kami akan mengajukan laporan ke pihak berwenang mengenai penggunaan dana desa yang tidak sesuai,” kata ketua tim audit.
Kehampaan semakin menyelimuti Alizar. Dia sudah berusaha berjuang dengan cara apa pun untuk menyembunyikan korupsinya, namun semua usaha itu tampak sia-sia. Dalam pikirannya ia membayangkan betapa dunia akan kiamat jika semua ini terungkap.
Saat tim audit akhirnya pergi, suara-suara di luar mulai berkumpul. Alizar merasakan suasana semakin menegangkan. Ia tahu, waktu semakin menipis. Dalam kekalutan, Alizar memanggil Tanjung dan pengacara-pengacaranya.
“Kita harus melakukan sesuatu. Kita tidak bisa membiarkan ini terbongkar!” teriaknya.
Mereka merancang strategi yang melibatkan penyuapan. Dalam pertemuan rahasia, Alizar menawarkan uang sogokan kepada hakim dan jaksa. “Kita perlu memastikan mereka berpihak pada kita. Jika mereka bisa ditenangkan, kita masih bisa menyelamatkan diri,” ucapnya penuh harap.
*
Bulan-bulan berikutnya adalah bulan yang semakin kritis bagi Alizar. Berita tentang dugaan korupsi Alizar menyebar cepat di media sosial dan berbagai platform berita, bahkan sudah sampai ke media nasional. Foto-foto dan video pertemuan warga yang menuntut keadilan menjadi viral. Warga desa, yang dulu mempercayainya, kini merasa dikhianati dan bertekad untuk melawan.
Di tengah semua ini, keluarga Alizar juga merasakan dampaknya. Istrinya, Rini, mengalami depresi. “Bagaimana ini bisa terjadi, Mas? Kita telah membangun hidup ini dengan susah payah!” keluhnya, hampir menangis. Anak mereka, Danu, yang dulunya ceria, kini lebih banyak berdiam di kamar, merasakan tekanan dan malu yang besar. Setiap kali berita tentang korupsi ayahnya muncul, wajah Danu tampak hancur.
Dalam kekacauan ini, Alizar berusaha untuk tetap optimis, meski dipaksakan. Ia yakinkan keluarganya bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski dalam hati ia meragukan itu. Sungguh, sejak kasus ini menempanya, keluarganya telah menjadi beban di pundaknya, dan ia merasa terasing dari mereka. Konsekuensinya, ia habiskan malam-malamnya dengan merencanakan strategi yang lebih berani.
Ketika pengadilan semakin dekat, Alizar terpaksa mengeluarkan dana yang lebih besar lagi. Ia berkomunikasi dengan jaringan lama untuk mendapatkan dana, berjanji akan membagikan keuntungan proyek-proyek mendatang jika semuanya berjalan sesuai rencananya. Namun, dalam hatinya, keraguan terus mengganggu. Apakah semua ini akan berhasil?
Hari-hari semakin mendekat ke pengadilan. Alizar sekeluarga tidak sanggup menghadapi pandangan warga yang penuh curiga. Lurah Alizar merasakan beban berat di hatinya, saat ia melihat keluarga yang dulu bahagia kini terpuruk.
Akhirnya hari sidang persidangan itu sampai juga. Tim auditor mengemukakan bukti-bukti korupsi dan penyelewengan dana. Alizar, yang duduk di kursi terdakwa, hanya bisa menundukkan kepala. Ia tahu, semua kesalahan yang selama ini ditutupinya kini terbongkar. Tanjung dan pengacara mulai gelisah.
Kemudian, hal yang tidak terduga terjadi. Jaksa penuntut dari kepolisian yang awalnya terlihat kaku tiba-tiba melunak pada sesi pemutusan vonis sidang setelah menerima transferan uang satu milyar dari Alizar. Berita tentang kesepakatan ini menjadi viral dengan cepat, dan warga desa yang semula berharap akan ada keadilan justru merasa dikhianati.
Vonis pun diputuskan, Alizar ternyata tidak dijatuhi hukuman penjara. Ia hanya dikenakan denda dan dijadwalkan untuk pengawasan melekat serta wajib lapor setiap minggu ke kantor kejaksaan terdekat. “Ini adalah contoh betapa korupsi bisa memanipulasi sistem,” teriak Pak Amir, mewakili suara kecewa warga desa. Alizar pulang dengan langkah ringan, meski di dalam hatinya, ia tahu ini bukanlah akhir yang terbaik.
Sesampaa di rumah, Alizar seolah dikurung oleh wajah Rini dan Danu yang tetap tegang. “Ayah, apa yang terjadi?” tanya Danu dengan nada putus asa. Alizar tersenyum, mencoba menyembunyikan ketidakpastian. “Semua sudah beres. Kita akan baik-baik saja,” ujarnya, meski hatinya terasa berat dan masgul.
Malam itu, meskipun strategi busuknya lumayan berhasil, Alizar tetap tak bisa tidur nyenyak. Di sepertiga akhir malam ia terbangun, tapi bukan untuk tahajud. Ia hanya termenung sembari menyesalkan semua yang terjadi. Di sampingnya ia saksikan Rini tertidur dengan air mata masih melekat di pipi. Ia merasakan kehampaan yang tak terlukiskan. “Apa yang telah aku lakukan?” bisiknya pada diri sendiri. [*]
- Hari-Hari Terakhir Lurah Alizar - 9 Februari 2025
- Pagi Pisang Goreng dan Ketan - 1 Februari 2025
- Hujan Segelas Teh Telur - 25 Januari 2025