Haiku Katak Basho, Haiku Kematian (Benarkah?)

Haiku Katak Basho, Haiku Kematian (Benarkah?)

“Saat dihadapkan dengan kata “HA-I-KU”, hal yang pertama kali muncul dalam pikiran sebagian banyak orang, bahwa haiku identik dengan memindahkan wujud gambar dari tangkapan indra sensoris ke wujud teks/tulisan dengan pola tuang sedemikian rupa, sehingga bahasa haiku terbaca unik juga khas. Memang, tidak salah pemahaman seperti itu, namun ada aspek yang lebih penting, yakni bagaimana bahasa ungkap haiku tadi tidak hanya sebatas menyalin atau memindahkan moment riil objek wicara ke dalam wujud teks, yang pada akhirnya tidak lebih sebagai gaya pengucapan warta berita atau sekilas pandangan mata, tanpa mampu menciptakan ruang-ruang indeks yang menawarkan pesan dan kesan lebih luas dan universal.” (lifespirit, April 2022)

fu-ru  i-ke ya,

ka-wa-zu to-bi-ko-mu

mi-zu no o-to

Matsuo Basho

            Jika Anda adalah salah satu penyuka puisi pendek Jepang, pastinya Anda tidak asing dengan teks haiku (Baca: ha-i-ku) di atas. Salah satu ayat haiku“katak” karya Matsuo Bashoyang juga diterjemahkan oleh Amir Hamzah, tokoh penyair angkatan Pujangga Baru, yang terjemahan lengkapnya, saya kutip hadirkan dari buku “Setanggi Timur”, cetakan kesembilan 2008;hal. 23, penerbit Dian Rakyat-Jakarta, sebagaimana di bawah ini:

Paya tua beradu cendera

Tersingkir, sunyi

Katak terjun, plung

(Haiku Basho)

            Membaca terjemahan Amir Hamzah pada haiku katak-nya Basho, saya selaku pembaca langsung diajak masuk ke dalam bahasa imajinatif—dengan menghadirkan diksi adjektiva klasik “cendera”, serta bahasa puitik—dengan melakukan perulangan vocal “a” pada “paya tua” yang menjadikan nada memberat, kombinasi vocal konsonan “er” yang memberi nada getar pada “beradu + cendera” yang membawa imaji rasa ke suatu tempat yang terpencil dan sunyi, yang sudah jarang dikunjungi orang, sebuah rawa atau paya tua dalam kesunyiannya, yang dipertegas Amir Hamzah dengan permainan bunyi konsonan “s” dan “i” pada “tersingkir sunyi” dengan bunyi nada “s” yang terdengar mendesis, dan bunyi nada“i” yang terdengar mengunci tiba-tiba dikagetkan oleh suara percikan air yang disebabkan ada katak yang melompat masuk ke air.

Tidak berbeda dengan terjemahan Amir Hamzah yang bertumpu dengan bahasa penyampaian imaji puitik, kesan senyap serta sunyi juga saya rasakan, manakala diterjemahkan secara sederhana sebagaimana di bawah ini:

di kolam tua;

ada katak melompat~

suara air

Kesunyian dan kesendirian sebagai medan kegelisahan bisa dirasakan dari frasa “di kolam tua”, selain dimaknai secara makna kediriannya (makna teks), juga membawa makna kias pelambangan. Kepasrahan, kesadaran dan ketenangan yang ada pada tiap-tiap diri, merupakan pengetahuan tertinggi dalam diri manusia yang dipelambangkan Basho dengan “ada katak melompat”. Dan titik puncak medan kegelisahan manusia adalah pada titik kebijaksanaan sempurna yang termanifestasi dalam pancaran keseimbangan (emanasi), dan ini dipelambangkan Basho dengan “suara air”.

Pikiran Sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif

            Realitas obyektif dalam seni menulis ha-i-ku, pikiran menerima input sesuai objek yang ditangkap indra sensoris, menyalinnya dalam wujud lukisan kata-kata. Pada saat proses penyalinan objek input, pikiran sebagai realitas subyektif ini bekerja, dan terkait proses kinerja pikiran, ilmuwan psikoanalisis,Sigmund Freud (lahir di Moravia, 6 mei 1856 dan meninggal di London, 23 september 1939), membagi pikiran dalam tiga lapis/tingkatan, yakni tingkat pertama adalah pikiran sadar 10%, tingkat kedua pikiran pra sadar 50%, dan tingkatan ketiga adalah pikiranbawah sadar 40%.

            Saya dapat asumsikan sebagaimana pembagian tingkatan pikiran dari Sigmund Freud, lukisan kata-kata dalam haiku katak-nya Basho, diksi terpilih 10 % dimaksudkan untuk penggambaran riil momen sesaat diambil, dan diksi yang disusun sedemikian rupa dengan menggunakan tekhnik pemotongan yang oleh haijin dikenal sebagai jeda sesaat, 50% dipengaruhi pikiran pra sadar dengan perbandingan 25% fokus mengarah pada objek riil momen sesaat, 25%  pikiran sadar membayangkan apa yang tidak nyata—berfungsi sebagai pemindai peristiwa yang mendorong Anda bereaksi—sebagai jembatan dari lalulintas informasi pikiran sadar ke bawah sadar atau sebaliknya. Dan yang terakhir, realitas pikiran mempengaruhi pilihan kata (diksi), 40% dimaksudkan sebagai kias pelambangan yang mewakili psikologis/kejiwaan dan atau tingkat emosional Haikus, yang dalam puisi haiku ditampakkan pada sifat atau fungsi kigo sebagai kias pelambangan (nada). Untuk lebih jelasnya, perhatikan paparan larik-demi larik haiku katak-nya Basho di bawah ini:

L1 à/di kolam tua/, frasa ini, pilihan diksi kolam tua, dari 100% makna yang disematkan pada susunan kata tersebut, 35% nya memang dimaksudkan oleh Basho untuk melukiskan riil fisik dari kolam tua yang benar-benar dilihatnya. Sedangkan 65% makna yang disematkan dalam susunan kata (frasa) /di kolam tua/, merupakan gambaran emosional haikus, yang mana susunan kata termaksud dibebani sebagai bentuk kias/pelambangan, semisal menawarkan kesan usia tua yang identik dengan kesepian, suasana terpencil, tidak terurus—mengingatkan pada legenda Jepang “ubasute—meninggalkan orang yang sudah tua di pegunungan terpencil atau di suatu tempat yang tenang, untuk menunggu kematiannya”.

            /ada katak melompat/, kalimat lengkap yang berpola S-P,dan saya pikir Basho, 35% menggunakan kalimat ini untuk mempresentasikan kejadian singkat ada katak melompat.65% selebihnya difungsikan Basho untuk melambangkan sesuatu dengan “katak”, dan sesuatu tersebut adalah “musim semi”, musim yang identik dengan keramaian, suka cita, dan atau kegembiraan, yang tiba-tiba dihadapkan pada suatu keadaan yang dilambangkan dengan /katak melompat—suara air/, yang kita tahu bahwa katak ini hidup di dua tempat, yakni di darat dan di dalam air.

            /suara air/,frasa ini, 35% makna teks dipilih Basho untuk melukiskan kondisi riil objek wicara yang dia dengar dan dia lihat, 65% lainnya, diksi suara air dipekerjakan sebagai kias perlambangan yang mewakili aspek emosional Basho pada saat itu, sebuah bayangan tidak nyata yang membawa pikiran Basho ke dalam ajaran Buddhisme Jepang, air diakui sebagai salah satu dari lima elemen: api, tanah, angin, dan ruang kosong (kekosongan). Air atau sui dalam elemen Jepang, dikaitkan dengan tingkat spiritual atau emosional.1)Dalam konteks ini, pilihan kata dan susunan kata dalam haiku, tidak semata untuk menyalin-lukiskan hasil tangkapan Indra sensoris, namun, bagi Basho adalah cara ungkap yang dipilih untuk jalan berhikmat. Dan dalam proses berhikmat itulah apa yang tidak dipikirkan oleh pikiran sadar, tiba-tiba tanpa diminta, pikiran bawah sadar muncul kepermukaan membawa bank-bank data dari masa lampau seseorang, pengalaman masa lampau yang pernah dialami seseorang (dalam konteks ini Basho) baik yang langsung atau tidak langsung, sebuah ingatan masa lampau yang begitu berkesan dalam kehidupan Basho. Ingatan-ingatan tadi bisa berupa ingatan tentang kasih, tentang cinta, tentang imani, spiritual/keyakinan, tentang penderitaan, tentang dosa, dll, yang muncul dari sebuah rangsang-respon atas objek yang ditangkap indra dan pikiran sadar.      

Penutup

            //fu-ru  i-ke ya ka-wa-zu to-bi-ko-mu mi-zu no o-to//

           //di kolam tua; ada katak melompat~suara air//.

            Sebagai penutup, saya akan menyimpulkan pembacaan sudut pandang saya terkait makna teks dan makna kias pelambangan atau metafisika (tersirat), dengan Basho meletakkan kireji pada L1.

Makna tersurat:

Pelaku wicara (Matsuo Basho) berada di suatu tempat (kolam tua), atau sedang memandang kolam tua, dan sesaat kemudian di area atau lingkungan di mana kolam tua berada, ada katak melompat (posisi jatuhnya lompatan katak ini, dengan adanya penanda kireji di hujung L1, bisa di dalam kolam, bisa di luar kolam) dan menimbulkan percikan serta suara air.

Makna tersirat:

//fu-ru  i-ke ya ka-wa-zu to-bi-ko-mu mi-zu no o-to//

           //di kolam tua; ada katak melompat~suara air//.

Anda (dan juga saya) tidak akan pernah tahu berapa lama akan tinggal di dunia, tapi yang kita tahu, dunia tempat kita tinggal tidak abadi—tidak tetap—ada gerakan dan perubahan yang dipengaruhi ruang dan waktu, di pelambangkan /di kolam tua/. Ketidakabadian dunia, menawarkan beberapa makna indeks yang berkaitan dengan kesunyian, kesendirian, keterasingan, serta kecemasan manusia dalam menyikapi kekuatan alam beserta esensinya.Kolam tua sebagai bentuk pelambangan dunia tempat yang tidak abadi, ini saya pikir seperti dalam ajaran Buddhaisme Jepang tentang apa yang kita sebut diri merupakan produk yang selalu berubah dari proses kausal yang kompleks, pratītya samutpāda9), dan merupakan gabungan dari lima kelompok unsur kehidupan dasar, tubuh, perasaan, persepsi, kesadaran, dan niat. Dengan menggunakan istilah tanpa-diri, Sang Buddha mengusulkan bahwa apa yang kita sebut diri adalah tidak kekal, bahkan sesaat, bergantung, dan tanpa esensi.8)

Ketidak-abadian dunia adalah bagian dari Jalan hidup manusia (Baca: Basho)—esensi dari pangkal kesadaran, pikiran, keindahan, keanggunan, kegelapan, ketenangan. Dan merupakan pengetahuan tertinggi dalam diri manusia. Ketidak-abadian dunia adalah bagian dari hubungan sebab akibat ketiadaan nyanyian katak yang melompat /ada katak melompat/sebagai symbol akhir medan kegelisahan—manusia pada titik kebijaksanaan sempurna pancaran keseimbangan (emanasi). Dan sesuatu yang memancar dari dalam diri manusia itu adalah tingkat spiritual atau emosional, yang disimbolkan lewat frasa /suara air/.

            Lalu apakah haiku katak-nya Matsuo Bashoadalah haikutentang kematian?Saya lebih senang menyebutnya dengan haiku perjalanan spiritual Matsuo Basho.

Mataram 3 Juni 2022 

Referensi:

  1. https://journal.rikumo.com/journal/2017/7/12/water
  2. The haiku handbook—William J. Higginson With Penny Harter, Publisher: MCGRAW-HILL BOOK COMPANY; 1985.
  3. Menyingkap Misteri Pola575 HAIKU, Penulis Imron Tohari—Penerbit Kekata Group,Surakarta 2015.
  4. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Penulis R Suyoyo Bakir dan Sigit Suryanto—Karisma Publising Group 2006.
  5. KBBI – Penerbit Kamus Besar Bahasa Indonesia III disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Penerbit Balai Pustaka. 2008.
  6. The New Psycho-Cybernetics, Maxwell Maltz, M.D F.I.C.S Penerbit Interaksara 2004.
  7. “Setanggi Timur”, cetakan kesembilan 2008;hal. 23, penerbit Dian Rakyat-Jakarta
  8. https://www.buddhistdoor.net/features/who-will-i-be-japanese-buddhist-conceptions-of-the-afterlife/
  9. Pratītyasamutpāda (Sansekerta; Pali: Paticcasamuppāda) umumnya diterjemahkan sebagai Asal-usul yang Bergantungan atau Kemunculan yang Bergantungan. Istilah ini digunakan dalam ajaran Buddhis dalam dua pengertian: Pada tingkat umum, istilah ini mengacu pada salah satu konsep sentral dalam tradisi Buddhis—bahwa segala sesuatu muncul dengan bergantung pada berbagai penyebab dan kondisi.https://en.wikipedia.org/wiki/Prat%C4%ABtyasamutp%C4%81da
Imron Tohari

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *