HAH? SASTRA MASUK KURIKULUM? YUK, KITA TENGOK SEJARAH!

HAH? SASTRA MASUK KURIKULUM? YUK, KITA TENGOK SEJARAH!

Program “Sastra Masuk Kurikulum” yang baru-baru ini dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan atas nama realisasi kurikulum Merdeka Belajar, sepintas terlihat sebagai langkah progresif yang patut diapresiasi karena memberikan ruang bagi sastra dalam pendidikan formal. Namun, jika kita mau renungkan lebih dalam, program tersebut justru menunjukkan kondisi sistem pendidikan kita yang benar-benar telah begitu menyedihkan. Sebabnya, para pembuat kebijakan nampak sekali tidak mengetahui bagaimana semestinya menempatkan sastra di dalam sistem pendidikan, alih-alih secara dangkal memperlakukan sastra sebagai sesuatu yang asing dan oleh karenanya perlu diimpor dari luar sistem melalui sebuah program khusus; dengan slogan yang seakan-akan begitu heroik.

Jujur saja, saya terheran-heran ketika mendengar ada sebuah program pemerintah yang kelihatannya punya niat baik, tetapi menggunakan slogan yang seperti itu. Mendengarnya, saya langsung bergumam, “Hah? Sastra masuk kurikulum? Emang sebelumnya sastra tidak ada di kurikulum? Duh!”

Malangnya, dan ini memang benar-benar malang, program tersebut hanya diembikkan begitu saja oleh para pegiat sastra yang (diminta) terlibat dalam program ini; tanpa terdengar adanya “dissenting opinion” sama sekali. Terlebih, sejumlah komentar kritis yang berdatangan, masih terlalu seragam menyororti perkara (teknis) kuratorial rekomendasi buku, dan hampir tidak menyinggung landscap dasarnya; yaitu soal kurikulumnya sendiri. Sehingga, seakan-akan program “Sastra Masuk Kurikulum” ini adalah memang program yang tidak bermasalah jika saja sistem kuratorialnya oke; atau hanya perlu merevisi buku panduannya saja yang ternyata banyak terdapat masalah. Padahal, menurut saya, ini merupakan contoh dari satu program yang halu dan sangat aneh keberadaannya.

Yuk, kita tengok dan pahami sejarahnya lagi bersama!

Di Yunani kuno, zaman dahulu, pada mulanya belum ada sekolah. Belum dikenal istilah sekolah. Belum ada yang dinamakan sekolah, sebagai sebuah lembaga pendidikan. Tetapi sastra, sudah ada di sana jauh-jauh hari, lebih dahulu, sebagai sebuah aktivitas pengajaran dan literer (tulis) masyarakat yang dijalankan secara aktif oleh mereka yang mencintai sejarah dan ilmu pengetahuan, seperti oleh Homerus dan Hesoidus. Kemudian muncullah sejumlah lembaga seperti Paidea (di tingkat dasar), Gymnaisum (di tingkat menengah), dan Academia juga Lycium (di tingkat lanjut), yang secara umum disebut sebagai Schole (waktu luang). Maksud dari “waktu luang” tersebut bukanlah berarti waktu luang tanpa aktivitas sama sekali, melainkan waktu luang dari kegiatan bekerja untuk bertahan hidup yang digunakan untuk kegiatan belajar berbagai ilmu pengetahuan dan seni untuk meningkatkan kapasitas intelektual, atau kegiatan berlatih untuk meningkatkan skill fisik. Oleh karenanya, yang disebut “bersekolah” di Yunani, secara umum dilakukan oleh mereka yang sudah terbebas dari beban kebutuhan hidup sehari-hari.

Untuk kepentingan pengajaran di sekolah itu, maka setiap scholar (kepala sekolah), seperti Plato yang merupakan pendiri sekaligus scholar dari Akademia dan Aristoteles yang merupakan pendiri sekaligus scholar di Lyceum, mereka menyusun kurikulum. Kurikulum setiap sekolah tentu berbeda satu sama lain sesuai tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh institusi terkait. Misalnya, pada Paidea yang memberi penakanan lebih pada pengajaran moral dan sejarah, Gymnasium yang memberi penekanan lebih pada pelatihan fisik dan pada tingkat lanjuta yang memberi penekanan pada pematangan intelektual: Plato di dalam Akademianya memberi penekanan pada pembelajaran rasional-matematis untuk menopang filsafat idealisme yang hendak disemaikan, dan Aristoteles memberi penekanan pada pembelajaran rasional-empiris untuk menopang filsafat realisme-sainifiknya.

Dan poin pentingnya, seluruh susunan kurikulum itu tidak hanya dilhahirkan dari inspirasi sastrawi, tetapi juga didasarkan dan dijalankan dengan sudut pandang sastrawi yang menekankan aktivitas kreatif baik di bidang seni maupun intelektual. Ini direalisiakan dengan adanya konsep Trivium dan Quadrium dalam kelompok mata ajar, yangmana, Trivium artinya tiga disiplin utama penting, yang meliputi Grammar (tata bahasa), Logic (logika), dan Rhetoric (retorika) yang perlu diajarkan untuk tujuan melatih siswa dalam pemahaman bahasa, berpikir secara logis-kreatif, dan berbicara dengan efektif yang harus dikuasai disamping–bahkan sebelum menguasi–Quadrium atau empat disiplin lainnya yaitu Aritmatika, Geometri, Musik, dan Astronomi.

Model pendidikan dan kurikulum demikian juga diterapkan di zaman penyusunan kurikulum Romawi dengan lembaganya ludus litterarius di tingkat awal, grammaticus di tingkat menengah dan Akademi di tingkat lanjut, juga di abad pertengahan dengan model Liberal Arts (pendidikan merdeka)nya. Ketika memasuki era Ranaissans (abad 14-17), pendidikan Liberal Arts juga terus dimajukan sehingga zaman ini–selain dikenal sebagai zaman kelahiran Humanisme–dikenal dengan zaman kebangkitan karya-karya terdahulu melalui model kurikulum (berorientasi sastra) klasiknya. Ketika memasuki era Pencerahan (18-19), pendidikan Liberal Arts juga terus bergulir meski pendidikan rasional-ilmiah sedang begitu menguat. Dan hal yang sama, tetap terus diselenggarakan di masa modern (abad 19-petengahan abad 20) mencapai puncaknya serta pendidikan vokasi menjadi marak.

Di Indonesia sendiri, sejak zaman Hindu-Buddha, Islam sastra selalu menjadi sarana bahkan basis utama pembentukan kurikulum pendidikan. Sastra Hindu-Buddha seperti Ramayana, Mahabharata, dan kitab-kitab Weda menjadi dasar bagi pembentukan pendidikan masyarakat Nusantara zaman sejarah awal. Para pendeta dan cendekiawan tidak hanya membawa serta menyalin teks-teks suci dan filosofis dari India untuk diajarkan di kuil-kuil dan perguruan, tetapi juga sistem kurikulumnya dibentuk menyesuaikan inspirasi teks-teks sastrawi yang ada. Begitu juga ketika agama Islam menyebar di Nusantara dengan membawa teks-teks sastrawinya. Jika kita tengok pendidikan tradisional yang masih lestari hingga kini dari ketiga agama besar Nusantara tersebut, semisal pendidikan di kuil-kuil dan pesantren-pesantren, maka kita akan menemukan betapa kentalnya sastra hadir di setiap sudut aktivitas pembelajaran di dalamnya. Bahkan, terlepas dari kepentingan politisnya, ketika Indonesia benar-benar diduduki oleh kolonialisme Belanda-Jepang, kebijakan pendidikan kolonial juga digerakkan sejalan dengan pembentukan lembaga kebudayaanan dan sastra seperti Balai Poestaka dan Keimin Bunka Shidosho.

Perlu diketahui, meski masih berada di bawah situasi kolonial, sejak tahun 40an, di sejumlah lembaga pendidikan tinggi (kampus) saat itu, sudah membuka fakultas sastra. Misalnya, pada tahun 1940 Universitas Indonesia mendirikan fakultas sastra dengan nama Faculteit der Letteren end Wijsbegeerte. Pada tahun 1946 Universitas Gadjah Mada mendirikan fakultas sastra dengan nama Faculteit Sastra, Filsafat dan Keboedajaan. Lalu pada tahun 1949 Universitas Nasional mendirikan fakultas sastranya dengan nama Fakultas Sastra Indonesia.

Di zaman kurikulum Indonesia paska merdeka tahun 1947-1950an, pendidikan kesadaran juga karakter bernegara dan bahasa Indonesia juga bahasa daerah yang begitu diberikan porsi jam lebih dibanding pendidikan ilmu lain; di semua jenjang. Kebijakan ini pula dikuatkan oleh kebijakan kebudayaan Soekarno yang menggandeng kalangan seniman LEKRA serta pendirian LKN untuk menguatkan peran sastra dalam pembentukan mentalitas kebangsaan di tengah-tengah kehidupan rakyat Indonesia. Pada kurikulum 1952-1964-1967 ketika ada kebijakan Pancawardhana yang menjadi turunan UU Manpol-USDEK Soekarno, pengajaran sastra menjadi terasa lagi karena menjadi bagian dari lima aspek wajib yang harus diajarkan kepada para siswa di setiap jenjang. Bahkan, implementasi di tingkat jenjang menengah atas, dibukakan jurusan Ilmu Sastra selain jurusan pilihan Ilmu Sosial dan Ilmu Alam bagi mereka yang ingin mempelajari sastra sebagai disiplin ilmu tersendiri lebih lanjut.

Setelah terjadi pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, pada tahun 1968 ketika kurikulum yang berlandaskan Pancawadhana diubah menjadi kurikulum berdasarkan penciptaan manusia Pancasila yang “a-politis”, bobot mata pelajaran Bahasa Indonesia nyatanya tetap menjadi yang paling dominan. Di tingkat pendidikan tinggi, di tahun yang sama, Badan Bahasa yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah, bekerjasama dengan Universitas Indonesia, juga mulai bergerak memantapkan pembelajaran dan pelatihan sastra ke berbagai fakultas sastra di banyak kampus. Proyek bersama ini berjalan secara berangsur setidaknya sampai tahun 80an. Dan sebagai dampaknya, sejumlah kampus lain pun pada akhirnya digandeng dalam sejumlah kegiatan badan bahasa lainnya di tahun-tahun setelahnya.

Pada tahun 1984. Diterapkan kurikulum yang menggunakan metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang mengedepankan keaktifan siswa dalam belajar dengan metode diskusi dan mengurangi metode ceramah guru. Penerapan ini dibarengi dengan penentuan pelajaran inti yang tergolong sebagai grad A yang mencakup pelajaran Fisika, Biologi, Ekonomi kemudian Bahasa yang sepaket dengan Sastra dan Budaya. Begitu juga ketika kurikulum 1994 diturunkan, bobot jam pelajaran Bahasa di tingkat SD-SMP masih berada didaftar paling atas diikuti oleh matematika yang memperoleh perhatian lebih sebab adanya revolusi ilmu di bidang ini. Di tingkat SMA, kurikulum ini mengorientasikan lulusannya kepada tiga fokus penguasaan pengetahuan di antaranya, bahasa dan sastra, sains dan matematika kemudian ilmu sosial agar bisa bersaing masuk ke pendidikan tinggi.

Tahun 2004 kita memasuki rumusan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tahun 2006 kita memasuki kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bahkan sampai tahun 2013 masanya kurikulum yang baru lagi, tidak ada satu informasi pun yang mengabarkan bahwa pernah terjadi peminggiran apalagi penghapusan sastra dari kurikulum pendidikan nasional kita. Alih-alih, justru sejak tahun 2000an, sekolah-sekolah kita sudah diramikan oleh program Gerakan Literasi Nasional (GLN) hingga Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang hingga saat ini masih bergulir.

Nah, pertanyannya, jika memang sastra sudahlah sangat inheren dengan dunia pendidikan dan kurikulum kita, mengapa lantas di era Kurikulum Merdeka hari ini ada sebuah program yang seakan-akan memosisikan sastra sebagai sesuatu yang asing dari dunia pendidikan? Lucunya lagi, program tersebut turun di saat sejumlah pengajar justru telah banyak menjurnalkan pikiran-pikirannya terkait bagaimana penerapan pengajaran sastra di era Kurikulum Merdeka! Artinya apa? Artinya, program “Sastra Masuk Kurikulum” adalah benar-benar program yang digagas dengan ide yang buta sejarah, buta pendidikan sehingga jelas teramat bodoh! Karena, program tersebut membawa pendidikan sastra kita mundur puluhan, ratusan, bahkan mungkin 2 ribuan tahun ke belakang! Dan itu–sekali lagi–diembikkan begitu saja oleh seluruh pegiat sastra yang diundang menjadi kurator. Ampuuuun!

26 Mei 2024

Shiny Elpoesya

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *