Ngobrol bersama Amos Ursia, Pemenang III Sayembara Puisi DKJ 2023
Setiap pemenang Sayembara besar seperti Sayembara Puisi DKJ, orang-orang akan selalu penasaran terhadap karya-karya yang didapuk sebagai pemenang. Mereka bisa penasaran seperti apa kekuatan dan kebaharuan dari karya tersebut, bisa juga tertarik kepada siapa yang berhasil menulis naskah sebaik itu.
Kami yakin, pembaca OmpiOmpi.com juga penasaran terhadap Amos Ursia, Pemenang III Sayembara Puisi DKJ 2023. Untuk itu, kami sebagai redaksi mencoba menggali informasi terkait naskah dan pengalamannya menulis puisi, Senin (07/08/2023) melalui aplikasi Instagram.
Selamat malam Amos Ursia, apa kabar? Mungkin ada banyak orang yang penasaran dengan Amos Ursia, salah satu penyair yang berhasil membuat juri DKJ 2023 terpana dengan manuskripnya. Bisa dijelaskan tentang diri Anda?
Selamat malam, saya Amos. Saya lahir dan besar di Bandung, lalu belajar ke Yogyakarta pada 2019. Saya menulis berbagai karya prosa, puisi, hingga riset-riset tentang sejarah dan kajian budaya.
Jika merujuk kepada biografi Anda di berbagai media, Amos Ursia termasuk seorang penyair muda yang aktif dan produktif dalam berkarya. Bisa diceritakan, kenapa Anda begitu menyukai dunia sastra? Sedang ada banyak anak-anak muda yang terlihat kurang tertarik di bidang ini.
Saya tertarik dunia sastra sejak SMP, khususnya ketika mengakses buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dan membaca koran Kompas edisi Minggu. Cerpen, puisi, dan kolom-kolom pendek membuat saya tertarik sekali.
Kemudian ketika SMA, saya mulai membaca bacaan “kanon” baik novel, cerpen, atau puisi. Tetapi, perjumpaan dengan karya-karya Pramoedya, Seno Gumira, dan Remy Sylado membuat saya tertarik menulis.
Dalam puisi, saya tak dapat memungkiri bahwa membaca Remy Sylado cukup berpengaruh dalam masa awal perjumpaan saya dengan puisi.
Pada masa kemudian, saya begitu tertancap dengan puisi-puisi Afrizal Malna. Sekaligus isu-isu yang ia respon dalam karyanya. Metodenya dalam menulis dan merespon hal-hal dekat pada kondisi harian begitu berpengaruh bagi saya.
Pada akhirnya, saya menemukan sastra (khususnya puisi) menjadi medium yang sangat penting untuk bertahan hidup, menyuarakan sikap, hingga merespon realitas yang ada sekitar saya.
Anda juga menyukai riset-riset sejarah dan budaya. Apakah itu juga dituangkan ke dalam puisi-puisinya?
Dulu saya pikir riset yang dinilai akademik itu tingkatannya berbeda dengan karya sastra, apalagi puisi.
Tetapi ternyata puisi jauh menembus batas sempit itu. Puisi melampaui hal yang tak sanggup dihampiri oleh “riset akademik”. Puisi ternyata menembus jauh pada sebuah ruang yang melampaui teori, batasan, metode, dan apapun.
Saya menyikapi puisi sebagai ruang produksi pengetahuan juga, sebuah medium yang sama pentingnya dengan apa yang dianggap secara umum sebagai “riset”.
Membuat puisi sama seriusnya dengan menggarap riset, membaca teori, dan merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang realitas.
Remy Sylado sekalipun terkesan urakan dan mbeling, dia juga kuat dalam filsafat. Beberapa karyanya, sebagaimana terdapat dalam Novel Perempuan Bernama Arjuna. Sedangkan Afrizal Malna, pernah tercatat Kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Terlepas dari hal tersebut, apakah unsur-unsur itu sangat mempengaruhi Anda untuk menyenangi karya mereka, atau bagaimana?
Mungkin, ada dua tahapan yang saya alami dalam menyenangi karya-karya mereka. Pertama soal tuturan dan “kegilaan” eksplorasi mereka, terkait itu ada preferensi personal saya.
Tahapan kedua tentu berhubungan juga dengan perenungan, pertanyaan, dan beberapa pemikiran yang juga saya sama-sama renungkan setelah membaca karya mereka.
“Perempuan Bernama Arjuna” edisi pertama dan edisi Javanologi, Sundanologi, Batakologi melampaui sekedar eksplorasi sastrawi. Pada karya tersebut hadir berbagai lapis pertanyaan mendalam soal identitas, diri, dan posisi subjek dalam kebudayaan. Saya yang lahir dan besar di Bandung punya relasi dekat (sehari-hari) dengan kebudayaan Sunda. Membaca Remy Sylado adalah membaca ulang keseharian subjek saya dalam kebudayaan Sunda, serta membaca isu-isu mendalam yang mengitari dan menghantui saya.
Sejak pertama kali membaca karya-karya Remy Sylado dan Afrizal Malna saya menyadari ternyata dunia sastra adalah dunia saya, dunia tetangga saya, dunia yang juga dekat dengan warga RT-RW sekitar saya. Dan, pengalaman personal subjek itu ternyata terhubung juga dengan isu-isu besar yang mengitari hidup para subjek itu.
Bagaimana dengan kegilaan dalam tanda kutip “mbeling” yang ditawarkan Remy Sylado, atau puisi-puisi gelap berbau urban yang dibawa Afrizal Malna? Adakah memberi inspirasi dan pengaruh terhadap puisi Anda? Sebagaimana juga kebiasaannya sering membuat repetisi pada diksi-diksi tertentu, yang seakan mirip seperti mantra gelap.
Dalam tahap penuturan dan menulis puisi, saya pikir ada pengaruh mereka. Tapi, kedua sosok itu lebih banyak berpengaruh pada tataran pemikiran.
Saya merasa tak mungkin meniru-niru dua sosok itu, mereka lahir dan tumbuh pada era yang berbeda dengan saya. Pun, saya merasa tak ada gunanya jika saya hanya meniru cara bertutur, gaya menulis, dan hal-hal teknis dari penulis sebelum saya.
Saya merasa lebih dipengaruhi pikiran-pikiran Afrizal dalam memandang bahasa, objek bendawi, dan dunia yang bergerak cepat. Begitupun dengan Remy Sylado, caranya memandang otoritas (baik dalam sastra, budaya, agama, politik, sosial) lebih berpengaruh pada saya.
Meski kembali pada poin pertama, tentu ada beberapa tuturan atau hal-hal teknis menulis yang berpengaruh. Tapi, itu lebih dalam tataran yang saya tak sengaja (apalagi berpretensi meniru-niru)
Dewan Juri DKJ 2023 bilang, Manuskrip Anda “Gentayangan Puitika” punya semangat kritis bercampur obsesi invensional; menampilkan puisi-puisi yang bisa dibaca sebagai ‘kritik sastra’; menjadikannya manuskrip yang nyentrik. Ditulis dengan gaya ‘suka-suka’, Gentayangan Puitika terbilang konsisten. Komposisi rata-rata puisi dengan sadar menyingkir dari tata bahasa formal sekaligus estetika arus utama yang telah mapan dalam tradisi puisi Indonesia, meski penghindaran tersebut tak radikal. Dari kesimpulan tersebut, kami tertarik dengan perkataan “kritik sastra” dan “suka-suka”. Apakah hal ini terpengaruh dari kesukaan Anda dalam menekuni dunia riset, dan termasuk juga pengaruh dari urakan (mbeling) yang ditawarkan Remy Sylado, maka muncul istilah “suka-suka” dalam manuskrip Anda?
Selain membaca Remy Sylado, saya selalu penasaran dan bertanya-tanya soal karya sastra yang merespon “perjalanan kesusastraan” itu sendiri.
Ketika pertama memikirkan ide tentang “Gentayangan Puitika”, saya sedang menelusuri bacaan dan pemikiran soal historiografi (penulisan sejarah).
Dalam kajian historiografi dikenal istilah metahistory, dalam kata lain, sejarah tentang penulisan sejarah. Saya penasaran dengan mengeksplorasi ide soal “puisi tentang penulisan puisi”. Mungkin, jika dimulai dengan sebuah pertanyaan “Gentayangan Puitika” bermula dari pertanyaan semacam ini: “mungkinkah percakapan, polemik, hingga perdebatan dalam sejarah puisi Indonesia saya respon dengan menulis puisi?”
Saya ternyata menemukan karya film Agnes Varda tentang metasinema, saya juga menemukan beberapa karya sastra yang memiliki pertanyaan serupa. Akhirnya, saya mencari cara, mengeksplorasi, dan berupaya untuk mengeksekusi ide itu.
Mungkin bisa dijelaskan lebih detil, Manuskrip Gentayangan Puitika itu berisi tentang apa saja? Lalu apa yang membuatnya berbeda dari naskah lainnya.
Secara umum Gentayangan Puitika berisi puisi-puisi yang merespon perjalanan puisi dalam sejarah sastra Indonesia.
Puisi-puisi dalam Gentayangan Puitika lebih merupakan respon dan perenungan tentang perjalanan puisi Indonesia, ketimbang “tawaran” tentang puisi apa yang cocok, baik, dan benar untuk dibuat.
Ungkapan awal dalam Gentayangan Puitika bertanya tentang otoritas kepenulisan, kepenyairan, dan sikap “saya-si-subjek” ketika berhadapan dengan sejarah puisi.
Apa harapan Anda terhadap manuskrip ini ke depannya?
Saya berharap spirit dan cita-cita dalam manuskrip ini bertemu orang-orang yang juga punya pertanyaan serupa. Lalu, ketika manuskrip ini dipublikasikan, proses produksi & distribusinya bisa pas juga dengan semangat yang mendasari manuskrip ini. Khususnya soal kolektivitas dan spirit non-hierarkis yang menjadi hal paling mendasar.
Sudah ada rencana diterbitkan tahun ini?
Iya ada rencana diterbitkan tahun ini (kalau memungkinkan), atau paling tidak sekitar tahun depan.
Jika berkenan, mungkin bisa dibocorkan sedikit, satu atau dua puisi yang ada dalam Manuskripnya? Agar pembaca sedikit lega akan penasarannya.
Bunda, Aku Gagal Merantau di Puisi Indonesia Zaman Baru. puing-puing Pompeyi adalah runtuhan yang sama dengan balok andesit di Plaosan — terkubur ia pada palung sejarah! kapal-kapal berlayar, negeri atas angin, negeri bawah angin, negeri tanpa angin, negeri angin-anginan. New York, Piccadilly di London, gurun pasir Anatolia, padang salju Islandia — lalu apa? Menara Eiffel, Empire State Building, Ruhr, Nagasaki — tak kutemukan puitika selembut pituah menjelang tidur. tak kutemukan puitika zaman baru, bahkan setelah mengejar jauh Goethe, Rimbaud, Dickinson, atau Elliot. Bunda, sia-sia mencari jauh pada rantau, karena puncak pencapaian puitika adalah menjadi peluk nyaman pada rapuh tubuh. Bunda, layar kapal ini selalu gagal terkembang, ia selalu ingin pulang pada pitaruah mandeh — senandung pengurai lebam punggung, titik henti jerit tangis. Bunda, senandung lelah itu, saat merangkai anyaman bambu, menjadikannya bakul, dan menanak nasi hangat dalamnya.
Puisi yang menarik. Semoga bukunya cepat meluncur di pasaran. Oke Bang Amos Ursia. Terima kasih atas bincang hangatnya. Sukses terus. Salam.
- Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-79 - 6 Agustus 2024
- Sastrawan dan Penulis Payakumbuh Tolak Masuknya “Satu Pena” ke Payakumbuh - 14 Juli 2024
- Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 H - 9 April 2024