Konon, di alam bawah sadar, alam mimpi, dan alam tidak nyata merupakan hal-hal yang bisa menjadikan manusia menjadi lebih hidup dan bebas sesuai dengan kehendaknya. Ia bisa saja menjadi seorang raja, menjadi pejabat, menjadi seniman hebat, atau seseorang yang mempunyai kemampuan superior, dst. Di alam ini, akses emosi terkait ketakutan, kegembiraan, kecemasan, dan hal-hal yang mungkin tidak terjadi, seolah terjadi, belum terjadi, dst., bisa mengganggu pola hidup dan pikirnya seseorang. Salah satu contoh dasarnya adalah sugesti positif yang mampu membangkitkan alam bawah sadar untuk tetap semangat dan memandang sesuatu dari ketidakputusasaan.
Salah seorang penyair besar Indonesia, mencoba maramu puisi yang mampu mengakses alam bawah sadar lebih jauh, tetapi dengan bahasa sehari-hari. Efek-efek yang ditimbulkan bisa saja beragam. Itu seperti alam mimpi yang melompat-lompat. Bayangkan ketika kita sedang bermimpi menjadi seekor burung, di sisi lain kita tiba-tiba menjadi seekor harimau. Tiba-tiba pula kita menjadi perahu yang ditumpangi manusia. Akses imajinasi, ketakutan, kegembiraan, khayalan di dunia nyata bisa saja terus berkembang menjadi gambaran di alam mimpi. Begitu pula ketika ia menggambarkan beberapa puisinya yang terkesan surel. Tetapi ditulis dengan bahasa sederhana yang mengandung humor sebagai sentilan. Humor cerdas ini tentu mengingatkan kita pada puisi Mbeling ala Remy Sylado. Hanya perbedaan lugas, keprismatisan isi, dan kegelapan puisi tentu bisa dijadikan pembeda utama.
Salah satu puisinya yang mampu menyentak kita adalah puisi “Celana, 1”. Puisi yang diramu dengan gaya naratif—bercerita ala prosa ini, merupakan salah satu puisi superiornya di antara puisi-puisinya yang lain. Secara kasat mata, puisi ini terkesan sederhana dan bermain dengan humor. Tetapi, ada banyak simbolis yang disisipkan di dalamnya. Mari kita simak: Celana, 1 Ia ingin membeli celana baru Buat pergi ke pesta Supaya tampak lebih tampan Dan menarik Ia telah mencoba seratus model celana Di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Bahkan di depan pramuniaga Yang merubung dan membujuk-bujuknya Ia malah mencopot celananya sendiri Dan mencampakkannya. “kalian tidak tahu ya Aku sedang mencari celana Yang paling pas dan pantas Buat nampang dikuburan.” Lalu ia ngacir Tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan: “ibu, kau simpan di mana celana lucu Yang kupakai waktu bayi dulu?” (1996)
Jika saja kita tidak membacanya dalam-dalam, tentu kita tidak bisa mendapatkan intisarinya. Puisi lucu ini, secara simbolik menceritakan sebuah analogi kehidupan manusia. Coba perhatikan pada bait pertama, dengan piawainya Jokpin menuturkan cerita dengan simbolis jati diri. Makna yang terselip bisa bermaksud sebagai manusia yang masih mencari jati diri hidup. Coba kita ingat-ingat waktu muda, adakalanya kita ingin dianggap tampan, cerdas, kaya, hebat, atau apa saja yang bisa membuat orang mampu mengingat kita sebagai manusia yang hebat. Anak muda cenderung mencari jati diri. Tetapi, di dalam pencariannya, bisa saja ia tidak menemukan apa-apa selain rasa hampa. Itu bisa terjadi karena sifat nafsu duniawinya. Seperti istilah, orang kaya tidak pernah merasa puas. Hakikat manusia seperti itu. Makanya Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda:
“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6437)
Tentu saja Jokpin tidak berniat mengambil dan mengagungkan kata-kata dari Nabi Muhammad Saw., sebagai ide awalnya, karena ia sendiri adalah seorang kristiani. Tetapi, sebagai umat Islam, keadaan hampa dari manusia akan berhenti ketika ia tobat. Jika tidak, hanya kematian yang mampu meredam gejolak nafsunya.
Jokpin mengisahkan kehidupan manusia itu bisa berubah ketika kehampaan telah memenuhi hatinya. Godaan dan rayuan dari orang lain tidak berpengaruh terhadap dirinya. Tiba-tiba ia melepas celananya sendiri—bukan menambah celananya yang baru. Simbol pelepasan celana bisa saja bermakna banyak. Bisa saja bermaksud sebagai orang yang ingin kembali ke jalan yang benar dengan melepaskan semua gemerlap hidup di dunia. Ia ingin kembali suci, seperti waktu bayi. Bayi tentu simbol dari manusia yang suci tanpa dosa, sedangkan simbol kuburan tentu sebagai akhir dan jalan hidup manusia. Di akhir hidupnya, ia ingin kembali suci seperti saat bayi. Tetapi ada sebuah kalimat satir yang perlu disimak, ketika ia menanyakan kepada ibunya tentang celananya yang lucu saat bayi. Apakah pertanyaan ini punya jawaban? Sedangkan ibunya sendiri telah tiada. Sederhananya itu adalah pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan. Bisa saja ini sebagai sebuah penyesalan yang datang terlambat. Ketidaktahuan arah, terombang-ambing membuat ia menyesal tanpa bisa kembali suci seperti awal.
Makna lain dari celana yang dibuka, bisa saja sebagai sindiran buat ia sendiri. Ketika kita hidup dalam gemerlap, nafsu dunia, dan kesenangan lainnya, tanpa sadar kita telah mempermalukan diri sendiri. Bayangkan saja ketika celana kita dibuka di tempat umum, tentu kemaluan kita akan dilihat oleh orang banyak, bukan? Dalam keadaan malu, kita lari dan larut dalam kehampaan. Terombang-ambing dengan hidup. Jalan hidup tidak jelas. Dan kita menyesal ketika tidak bisa kembali ke awal—seperti dahulu saat kita masih suci.
Begitulah Jokpin dengan piawainya mengisahkan sebuah keadaan. Sebuah keadaan yang seolah dianggap lucu bagi orang lain, padahal adalah keseriusan yang sangat pada kita sendiri. Sesungguhnya kita telah mempermalukan diri kita sendiri. 2017
- Hai AI, Apakah Kamu Mengenal Saya? - 9 September 2024
- Cerita Horor - 15 Agustus 2024
- Padma Suami - 3 Agustus 2024