Pada tahun 2022 lalu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kembali meluncurkan Ejaan Bahasa Indonesia (EYD) Edisi V. EYD ini sekaligus menjadi penerus dan pengganti dari Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Hal ini cukup menarik, karena pemakaian nama “EYD” yang sebelumnya digantikan oleh “PUEBI” kini dikembalikan lagi. Seolah-olah nama sebelumnya terasa asing, tidak representatif, atau bahkan kurang membumi sehingga perlu dipulihkan menjadi EYD seperti semula.
Meskipun terdapat lebih dari lima perubahan dalam EYD Edisi V dibanding PUEBI, saya mengambil lima di antaranya sebagai contoh:
- Penambahan Istilah “Monoftong”
EYD V memperkenalkan konsep baru berupa monoftong, yakni gabungan dua huruf vokal yang dilafalkan sebagai satu vokal tunggal. Dalam konteks bahasa Indonesia, monoftong diwakili oleh gabungan huruf vokal eu. Ini cukup berbeda dengan diftong seperti ai, au, ei, dan oi yang telah dikenal sebelumnya. Sekilas, monoftong dan diftong tampak serupa karena sama-sama terdiri dari dua vokal. Namun, monoftong dilafalkan sebagai satu bunyi tetap, yakni [ɘ]—simbol fonetik yang sayangnya belum dijelaskan dengan cukup rinci. Besar kemungkinan, bunyi [ɘ] ini merujuk pada vokal tengah netral, yang dalam praktiknya sering terdengar seperti e tipis yang hampir menyerupai bunyi u dalam beberapa kosakata daerah.
Melihat perkembangan ini, ada baiknya jika Badan Bahasa ke depan mempertimbangkan penambahan huruf atau lambang fonetik baru untuk menampung kekayaan pelafalan yang tidak terwakili oleh abjad Latin. Misalnya gabungan bunyi e-u, o-u, e-i, atau bunyi-bunyi khusus seperti ghain, ‘ain, dan sebagainya. Kekayaan fonetik bahasa daerah dan serapan asing mestinya tidak terus-menerus “ditampung paksa” dalam sistem ejaan yang terbatas.
- Penulisan Kata “Maha”
Pada PUEBI, kata maha bisa ditulis terpisah atau digabung, tergantung bentuk katanya. Bila diikuti kata dasar, seperti kuasa atau suci, maka ditulis gabung: Mahakuasa, Mahasuci. Namun dalam EYD V, penulisan kata maha yang merujuk pada sifat atau nama Tuhan harus ditulis terpisah, diawali huruf kapital, misalnya: Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Suci. Ini menandai pengkhususan secara semantis dan stilistika. - Penulisan Bilangan
Dalam PUEBI, bilangan yang terdiri dari satu atau dua kata ditulis dengan huruf, misalnya: “Ada dua peserta lomba yang mengundurkan diri.” Sementara itu, EYD V menetapkan bahwa bilangan yang terdiri atas lebih dari satu kata ditulis menggunakan angka. Contohnya: “Tahun ini Shiny berusia 17 tahun.” Aturan ini tampaknya ingin menghadirkan konsistensi antara representasi angka dan panjang frasa bilangan. - Penggunaan Tanda Titik Dua pada Waktu
Jika sebelumnya PUEBI hanya menggunakan tanda titik (.) untuk memisahkan jam dan menit, maka EYD V memberi alternatif baru, yakni penggunaan tanda titik dua (:). Contoh: “Ompi berangkat pukul 06.50” (PUEBI) dan “Ompi berangkat pukul 06:50” (EYD V). Ini kemungkinan didasarkan pada kebiasaan internasional atau pemakaian umum di perangkat digital. - Penulisan Judul
PUEBI menggunakan tanda petik untuk menandai judul, seperti judul buku atau film. Kini, EYD V memperluas cakupan dengan memperkenalkan penulisan judul yang dimiringkan (italic) untuk jenis-jenis karya tertentu: buku, kumpulan cerpen, majalah, jurnal, album lagu, acara televisi, siniar, hingga film. Contohnya: Yuzet sedang menonton film Komang di bioskop.
Dengan berbagai pembaruan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah aturan tata bahasa dan ejaan ini bisa berubah begitu saja, sesuai keputusan sepihak lembaga yang berwenang? Apakah sifatnya tidak baku, melainkan elastis, mengikuti dinamika atau bahkan selera?
Kalaupun benar bahwa perubahan dilakukan atas dasar pertimbangan linguistik dan perkembangan bahasa, harapannya ke depan bukan hanya soal penambahan atau pengurangan aturan. Akan sangat baik jika disertai pula dengan pembaruan yang lebih visioner, seperti penambahan huruf atau lambang baca baru, serta penjelasan fonetik yang lebih lengkap—demi menampung keragaman pelafalan dan warisan fonologis dari berbagai bahasa daerah dan asing yang hidup dalam bahasa Indonesia hari ini.
Karena bahasa, pada akhirnya, bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi juga cermin kompleksitas pikiran dan budaya.
- Tangisan Sungai, Sumpah Plastik: Membaca Safri Naldi lewat Ekokritik dan Marxisme - 20 Mei 2025
- Kesunyian Literasi - 15 Mei 2025
- Pemilihan Kepala Desa – Episode 03 - 11 Mei 2025