Yuzet: Ompi, kenapa kita harus membuat esai atau tulisan-tulisan yang sifatnya mengapresiasi karya orang lain, umpama puisi.
Ompi: Sederhananya, ada beberapa sebab, yaitu untuk membantu pembaca–mengenalkan pembaca akan isi dan kelebihan dari karya tersebut. Bisa melalui sudut pandang tertentu yang mungkin dilupakan atau diabaikan pembaca. Terkait sudut pandangnya, ya bebas. Kemudian, membantu mengenalkan karya si penyair atau penulis ke pembaca. Nama lainnya menjembatani. Tapi, tumben Yuzet serius?
Yuzet: Ah, Ompi bisa aja. Tapi untung bagi kita apa?
Ompi: Wah, jangan bahas untung rugi dulu. Membuat apresiasi itu termasuk salah satu cara kita membagikan pikiran positif ke orang lain. Membantu penulis dan pembaca.
Yuzet: Kalau benar begitu, kenapa saya sering baca esai-esai yang isinya kritik. Walau kadang menilai dari dua sisi, baik dan buruk. Tergantung karyanya. Bisa saja penilaiannya lebih banyak negatif atau sebagainya.
Ompi: Beberapa orang bilang itu kritik sastra. Sekalipun itu perlu diuji juga lebih jauh. Sebagaimana ilmu yang dibawa–telaah yang ia buat. Tentu saja itu harus objektif sesuai dengan keilmuan atau teorinya. Apresiasi biasanya lebih sering menonjolkan subjektifitas si pengulas terkait sisi positif karya. Sekalipun ada beberapa orang bilang, itu kadang masuk juga sebagai bagian dari kritik sastra non akademis. Tapi kita tidak perlu membahas itu lebih jauh. Cukup bagian apresiasi saja.
Yuzet: Kalau begitu, gimana baiknya menulis apresiasi?
Ompi: Setidaknya kita memulai dari pikiran positif terlebih dahulu. Kemudian mencari sudut atau hal apa yang perlu kita ulas dan tonjolkan. Sebagaimana kritik sastra, kita juga harus jeli mencari permata dari karya tersebut. Walau begitu, ada hal penting lain yang kadang lalai dilakukan oleh si pengulas.
Yuzet: Apa itu, Ompi?
Ompi: Menonjolkan diri sendiri. Kadang ada beberapa orang ketika menulis apresiasi yang berbentuk esai, testimoni, atau mungkin pengantar sebuah buku, ia seakan sibuk mempertontonkan keahlian dirinya sendiri. Istilah lainnya, pamer bacaan dan ilmu. Sehingga ia lupa, objek yang dibahas bukan karya tetapi malah dirinya sendiri. Ia menjadi subjek penting yang seolah sengaja membuat pembaca menjadi blink blink. Dalam artian, yang ditonjolkan adalah dirinya. Sedang karya yang diulas hanya dipakai sebagai alat untuk membesarkan dirinya. Analoginya itu, seperti kita bertindak sebagai MC, moderator, atau pembawa acara. Tugas kita bukan membesarkan diri sendiri. Tapi narasumber atau apa-apa yang sedang dibahas waktu itu.
Yuzet: Oh testimoni dan pengantar juga termasuk?
Ompi: Garis besarnya begitu.
Yuzet: Gimana kalau esai atau testimoninya terkesan negatif. Seperti menelaah atau membahas kekurangan si karya? Atau, eksplornya terkesan menelanjangi kekuarangan si penulis.
Ompi: Harusnya tidak begitu. Kalau sudah begitu, testimoni atau pengantarnya, udah bukan termasuk apresiasi lagi. Hehe.
Yuzet: Tapi kadang saya sering menemukan itu.
Ompi: Kalau testimoni itu kan bebas, ya. Terserah si pengulas. Cuma kalau untuk disematkan di buku, bakal dijual atau dipublikasi oleh si penulis, rasanya kurang pas. Kesannya bego aja. Hehe. Itu sama kek sampeyan mau jual kasur. Trus disematkan iklan “Kasurnya agak keras dan tidak empuk.” Kira-kira gimana? Pengantar harusnya juga begitu. Kalau emang ga mau memuji, telaahnya cukup yang umum saja, agar si pembaca bisa masuk melalui jembatan itu. Bukan dijejali pandangan kritik di sana. Boro-boro dibaca, si pembaca udah enek duluan hehe.
Yuzet: Ya juga, sih. Tapi bagaimana jika apresiasinya terlalu berlebihan. Karya buluk dibilang emas. Lumpur disebut sungai. Ayo.
Ompi: Makanya tadi saya bilang, si pengulas harus pandai-pandai mencari berlian atau sudut yang mau diulas. Sejelek-jelek karya, harusnya ada hal-hal positif yang bisa ditonjolkan. Jika emang ga ada, mending ga usah dibuat. Daripada jual harga diri. Hihi.
Yuzet: Kalau dibayar gimana? Kek artis endors produk, gitu.
Ompi: Kalau sudah dibayar, tentu bahasannya beda lagi. Si pemilik karya, logikanya bakal berhak untuk meminta telaah seperti apa. Sesuai kehendaknya. Otomatis konsep apresiasi di sini udah ga murni lagi. Sekalipun sah saja. Ada uang ada barang. Hehe. Tinggal si pembaca harus jeli. Telaahnya dibuat-buat atau sesuai. Gitu, aja sih.
Yuzet: Ya juga, sih. Coba Ompi kasih apresiasi pendek karya saya berikut ini.
(Sodorkan puisi).
Ompi: Oh ini. Sebagai penyair, Yuzet sangat piawai untuk ngibul dan membohongi para perempuan. Tidak heran, banyak ciwi-ciwi uhuy yang bakal terpedaya oleh rayuan maut melalui diksi-diksi puisi yang ia buat ini.
Yuzet: Eh. Itu apresiasi atau mau menjatuhkan!
Ompi: Lah, itu kan apresiasi. Lihat isinya, dong. Kan pujian. Artinya sampeyan pinter cari mangsa.
Yuzet: Ya juga sih. Tapi bentar. Keknya ada yang aneh …
- Tinjauan Psikologis atas Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” Karya Titan Sadewo - 2 Maret 2025
- Takut AI, Tapi Percaya AI: Ironi Dosen dan Pakar dalam Menilai Tulisan - 1 Februari 2025
- KALA DOSA PADA LAUT - 25 Januari 2025