Duduk dan Tekun: Apresiasi Puisi karya Winarni Dwi LestariDuduk dan Tekun

Duduk dan Tekun: Apresiasi Puisi karya Winarni Dwi LestariDuduk dan Tekun

Duduk dan Tekun
: Apresiasi Puisi karya Winarni Dwi Lestari

Puisi pada dasarnya adalah sebuah monolog, yaitu buah percakapan seorang penyair dengan batinnya sendiri. Batin yang berisi kesaksian dan pengalaman-pengalaman hidupnya. Dan ketika percakapan itu telah mencapai puncaknya, maka ia akan melahirkan renungan yang berupa teks puisi.

Dalam konteks seperti ini, terutama untuk para penulis puisi, maka puisi harus disadari bukanlah kalimat-kalimat omong kosong belaka, yang berindah-indah tanpa kedalaman renungan. Kesadaran mendalam seperti ini tentu hanya akan dimiliki oleh seorang penyair yang memahami fungsi-fungsi puisi. Bahwa puisi tak hanya alat rekreasi dan ekspresi penyair, ia juga alat edukasi bahasa sebagai guru kebudayaan yang merupakan unsur terpenting sebuah peradaban.

Alangkah menyedihkan kita mendengar dalam sebagian pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, November 2019 yang lalu, ketika Seno Gumira Ajidarma mengatakan–dan saya bersepakat atas realitanya, bahwa:

“Bahasa adalah satu unsur kebudayaan yang terpenting, tetapi yang paling terabaikan.”

Tetapi, naifnya pidato itu kemudian disambut serentak oleh para penulis dan sastrawan yang meluruskan telunjuk kepada penguasa sebagai pelaku tunggal–baik itu pemerintah, perusahaan penerbit, bahkan para pembaca, tanpa menyadari kemungkinan kalau keterabaian itu juga berakar dari para pelaku bahasa itu sendiri. Baik pada tingkat elementer dengan sikapnya yang tak acuh pada pemahaman sastra dan ketatabahasaan, lebih lanjut pada tingkat para “penguasa bahasa” (penulis,sastrawan dan penyair) dengan sikap yang menjadikan penguasa (pemerintah dan pemilik modal) sebagai dewa.

Meski memang, akan tercapai suatu keseimbangan ketika kita juga mengacu kepada Yann Martel yang menyatakan dalam sebuah buku, yaitu “Life of Pi” yang melambungkan namanya. Di halaman akhir buku novel yang meyabet penghargaan Man Booker Prize 2002 itu dia menulis:

“Kalau kita, para warga negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbankan imajinasi kita di atas altar realita yang kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apa pun, dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti.”

Itu artinya, seharusnya ada keseimbangan kontribusi antara pelaku bahasa dan warga negara, terutama pemerintah dan pelaku bisnis, atas perkembangan dunia literasi sebagai usaha membangun kebudayaan dan peradaban yang lebih baik.

Sebagian atas dasar itu pula mungkin saya, dalam hal ini sebagai warga negara sekaligus pelaku bahasa, dalam awal proses kreatif menulis esai ini harus sedikit mengabaikan petuah Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa “Karya sastra yang menantang adalah yang mampu memaksa pembaca untuk menciptakannya kembali.”

***

Puisi sebagai sebuah teks membawa sidik jari penyair. Daya dari sidik jari itu melahirkan upaya. Dan upaya-upaya itu melahirkan corak-corak puisi yang kita klasifikasikan sebagai jenis-jenis dan bentuk-bentuk puisi. Dari sumber-sumber “monolog” itulah melahirkan sejarah kebudayaan sebagai unsur penting peradaban yang menjadi ciri-ciri sebuah zaman.

Jika Raja Ali Haji mengatakan, “Untuk mengenali sebuah bangsa, lihatlah kepada budi dan bahasa,” maka dengan ungkapan Wittgenstein, bahwa “Batas bahasaku adalah batas duniaku,” dapat pula kita melampaui batas-batas itu. Laju bahasa menjadi jalan mengenali sebuah zaman dengan lintas bangsa-bangsa.

Mungkin, saat ini terlalu jauh untuk seorang penyair Winarni Dwi Lestari untuk memberi ciri sebuah bangsa, atau bahkan zaman, namun, setidaknya daya penyair ini telah membawanya melewati batas daripada sekadar penyair-penyair omong kosong, yang dilahirkan oleh sekadar euforia zaman sastra sosial media. Mari kita simak puisinya.

DUKUN PIJAT

mula-mula kau adalah pianis 
pelan menekan tuts-tuts sepanjang epidermis.
telinga jemarimu menajam
adakah nada yang terkilir dan lebam?
not hitam itu sesekali menciptakan suara minor
saat tindihan tanganmu terlalu kuat 
dan seketika not balok memucat lalu loncat
jatuh sebagai remah-remah daki.

kemudian kau menjadi polisi lalu lintas
rajin mengatur arus di ruas-ruas urat
banyak jalan saling silang, padat 
oleh kendaraan pengangkut penat 
juga cemas.
begitu riuh kemacetan di persimpangan sendi
lampu merah tertelan gaduh sumpah serapah
seakan mulut tak melihat penanda dilarang melintas.

lalu kau menjelma petani garam
tabah mengairi setiap pembuluh darah
membuka tutup katup irigasi
menjaga ladang dengan air mata perih
sebagai mata air rela mengkristal 
menjadi butir-butir putih.

namun kau tetaplah seorang pewirid
komat- kamit sambil sesekali bergumam
meniup linu dan ngilu yang semakin kerap singgah.

Tuban2022
Winarni2lestarid

Bagi yang biasa mengklasifikasikan sebuah puisi, tentu akan langsung memaklumi bahwa puisi empat bait ini bukanlah puisi diafan, bukanlah puisi yang terang benderang yang begitu dibaca begitu pula akan dihabisi maknanya. Bahkan mungkin, riwayat puisi ini tidak akan tamat jika batasnya hanya makna yang didapat.

“Dukun Pijat”.

Unsur DIKSI adalah salah satu unsur intrinsik yang mengambil porsi terpenting pembentuk struktur fisik sebuah puisi. Pemilihan kata “dukun” pada judul–yang tidak diulang lagi sekali pun di dalam isi—ini terasa unik ketika digabungkan dengan kata “pijat”. Sebab umumnya, keahlian memijat adalah keahlian yang umum dan banyak dikuasai orang terutama dalam konteks menyangkut profesi, seperti juga halnya tukang bangunan, tukang listrik, tukang parkir, hingga ke tukang rias pengantin–bahkan untuk sejenis contoh frasa terakhir seperti tukang rias, cukup diberi imbuhan “pe” saja, menjadi perias, untuk menjadikannya semakna dengan frasa tukang rias.

Lantas, mengapa penyair memilih kata “dukun” dan bukan “tukang”? Seolah dengan penggunaan diksi “dukun” ini penyair hendak menanamkan kesan sangat khusus dan sakral kepada kata yang menyertainya yaitu “pijat”? Seakan makna frasa “dukun pijat” itu ingin disetarakan kualitasnya dengan, misalnya, “dukun beranak” yang sangat khusus dan terbatas bisa dimiliki orang. Bahkan, diksi “dukun” itu bisa pula diinginkan untuk membangun sebuah IMAJI (satu unsur terbesar lainnya setelah diksi yang membangun struktur fisik puisi), yaitu kesan bayang-bayang pembaca yang membuatnya setara dengan, misalnya, “dukun santet”, yang menanamkan kesan mistis dan magis.

Seperti halnya diksi “dukun”, kata “pijat”–dalam satu kali pembacaa saja–juga tidak kita temukan di dalam isi puisi. Hanya saja, selanjutnya dengan menguatkan rasa puitik, relasi kesan dari kegiatan “memijat” dan efeknya bisa pembaca rasakan dalam setiap bait, seperti “pelan menekan”, “terkilir dan lebam”, “tindihan tanganmu”, “ruas-ruas urat”, “persimpangan sendi”, dan “pembuluh darah”. Dan inilah yang dinamakan unsur IMAJI yang merupakan unsur pokok yang membangun struktur fisik sebuah puisi–dan penyair memang harus memahaminya. Dari anasir ini saya menilai, tetap dalam konteks teks puisi, unsur ekstrinsik penyair punya peran besar membawanya keluar dari batas penyair omong kosong.

Jadi bisa disimpulkan, judul inilah tema besar dalam puisi ini. Kita tahu bahwa TEMA adalah unsur intrinsik batin puisi. Itu artinya penyair secara langsung membangun puisinya ketika membuka judul dengan memberinya kelengkapan struktur fisik dan batin. Yaitu TEMA, DIKSI dan IMAJI.

Cukup panjang telaah “hanya” terhadap judul. Ya, begitulah puisi. Sementara adakah unsur ekstrinsiknya akan terjawab setelah telaah ini cukup kaffah.

Selanjutnya ketika mulai memasuki isi puisi, perspektif atau sudut pandang “aku penyair” digunakan dalam menarasikan “dukun pijat”. Koherensinya dibangun dengan memanfaatkan kata pengganti orang kedua tunggal, yaitu “kau”-lirik.

Dalam tiga bait awal narasi-narasi “dukun pijat” dideskripsikan sebagai “mula-mula kau adalah pianis”, “kemudian kau menjadi polisi lalu lintas”, “lalu kau menjelma petani garam”. Ketiga “kau” lirik dalam tiga bait ini narasinya menggunakan GAYA BAHASA dengan MAJAS alegori. Selipan-selipan filosofis dalam setiap baitnya, “telinga jemarimu menajam”, “rajin mengatur arus di ruas-ruas urat”, dan …

"tabah mengairi setiap pembuluh darah
membuka tutup katup irigasi
menjaga ladang dengan air mata perih".

Dengan kiasan-kiasan ini, frasa ” dukun pijat” itu membentangkan makna yang sangat luas. Tak hanya sedangkal makna “tukang” yang mengerjakan sesuatu seadanya. Ia mengajarkan filosofi yang mendalam bagi setiap manusia dalam konteks apa pun diri dan pekerjaannya.

Makna terdalam itu kemudian dapat pembaca temukan pada bait terakhir sebagai puncak puisi.

“namun kau tetaplah seorang pewirid”

Larik ini bisa diparafrasakan seperti ini: namun sebagai apa pun // kau tetaplah seorang pewirid.

Diksi “pewirid”–dari kata “wirid”–inilah yang sangat tepat dipilih oleh penyair untuk mewakili hampir keseluruhan makna “dukun” sebagai tema sekaligus pesan besar puisi ini.

Seperti kata Abdul Hadi WM yang cukup kita kenali sebagai seorang penyair sufi, bahwa puisi adalah jalan suluk. Dengan memanfaatkan diksi “pewirid” itu, puisi ini tak hanya mampu membangun kesan khusus, sakral, magis dan mistis bagi diksi “dukun”, tetapi juga kesan dan pesan religius.

Menjadi apa pun engkau dalam hidupmu, tak hanya sebagai pianis, polisi lalu lintas atau petani garam, menjadi politisi, jaksa, hakim, pejabat, guru, ASN, karyawan, buruh, harus dan tetaplah dengan hati yang ikhlas, khusuk, amanah, ingat janji dan pertanggungjawaban di hadapan sang pemberi kehidupanan.

Maka secara ‘nakal’ dan menyenangkan saya merekreasikan kata “DUKUN” dalam puisi ini dengan sebuah akronim sebagai “DUDUK dan TEKUN”. Jadi kata dukun dalam hal ini, yaitu dalam konteks predikat yang positif seharusnya sangat layak digunakan, bahkan di dalam keseharian. Seperti dukun bangunan, dukun parkir, dukun rias, dukun bakso dan sebagainya. Biarlah kata tukang cukup disematkan kepada predikat yang negatif seperti tukang santet, tukang onar, tukang maling, tukang korupsi, tukang tipu dan sebagainya. Mari tertawa!

Seperti kata Putu Wijaya bahwa gaya adalah upaya, bukan tujuan. Maka menyambut tantangan kehidupan yang terkadang berat itu bisa sangat menyenangkan. Seperti itu pulalah selayaknya kita mempelajari dan memahami puisi. Keluar dari euforia zaman sastra omong kosong.

Sementara diksi “pijat” sebagai penyerta dapat kita pembaca merabanya secara tepat adalah unsur ekstrinsik dalam diri penyair, baik historis, biografi dan religi, yang mempengaruhi puisi di luar struktur fisik dan batinnya. Hal ini sesuai dengan menyadari bahwa pada dasarnya puisi adalah sebuah monolog. Hanya satu subjek saja dalam puisi ini yang mungkin sedikit mengganggu logika puitik dan koherensi monologisnya, yaitu polisi lalu lintas di bait kedua. Namun, dengan ragam anasir yang cukup luas diruangkan oleh puisi ini, kiranya tidak begitu mengurangi kenikmatannya.

Mari menjadi dukun. Duduk dan tekun.

Bengkulu, 11 Oktober 2023

  • Sebagian isi esai ini dikutip dari pengantar saya bagi beberapa buku antologi beberapa orang penyair;
  • Kutipan puisi diambil dari https://ompiompi.com/dukun-pijat/ dan wall group GPRS.
Awan
Latest posts by Awan (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *