Tuhanku dalam Termagu Aku Masih Menyebut Namamu, Benarkah Itu Bait Ragu-Ragu Chairil Anwar?

Tuhanku dalam Termagu Aku Masih Menyebut Namamu, Benarkah Itu Bait Ragu-Ragu Chairil Anwar?

“In everyday language, “meaning is based on multiple referents, and the truth of a text is established through its contacts with reality” (Riffaterre 1983, 88). In contrast, the literary text has only one referent, which is found neither in reality nor in the author’s intention. For Riffaterre, any text is derived through the complex interplay of variations and modulations on one single structure “[…]- thematic, symbolic, or whatever – […] and this sustained relation to one structure constitutes the significance” (Riffaterre, 1978, 6).1)

DOA
 kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

Dalam puisi Chairil Anwar di atas, saya mendapati dua tiang pemaknaan yang dibawa teks puisi secara makna kedirian teks atau makna harfiah. Dan makna tersembunyi yang merupakan bagian dari jaringan bahasa simbol sebagai tanda dan penanda dalam mengambil kebermaknaan pesan dari teks puisi. Dari sudut pandang ini, saya lantas berpikir bahwa teks puisi tidak membawa arti tunggal, tapi terdiri dari lebih bagian arti bahasa, sebab di sana pengirim pesan sudah tidak bersama dengan makna bahasa teks puisi itu sendiri. Hal ini karena adanya matarantai yang tidak putus antara bahasa sebagai simbol tanda dan penandanya, juga arti dari kedirian tanda serta penanda tadi dengan arti yang metafisika, dan Derrida, Riffatere serta beberapa pengamat lainnya sering mengatakan bahwa dalam kerangka bahasa puisi ada unsur-unsur yang saling berhubungan (matriks).

Ketidaklangsungan Ekspresi

Saat saya berhadap-hadapan dengan teks puisi, tidak bisa sertamerta berpikir bahwa teks puisi tadi adalah interpretasi nyata penyairnya—dalam pengertian, misalkan, arti bahasa teks dipandang sebagai hal yang dikerjakan penyairnya selaku aku lirik pada waktu itu, tapi tidak dipandang adanya kemungkinan bahwa apa yang dikerjakan aku lirik justru telah terjadi di masa lampau—sebagai suatu rangkain peristiwa. Atau dalam permisalan lain, arti bahasa teks hanya dipandang secara arti harfiahnya saja, padahal dalam keunikan bahasa puisi yang terdiri dari berbagai macam tanda dan penanda bahasa dalam sebuah sistem (matriks), bisa saja terjadi sesuatu pembalikan arti dari yang harafiah (literal) ke metafisika. Dan perlu juga digarisbawahi, bahwa dalam membaca serta memaknai arti bahasa teks puisi, tidak bisa hanya dimaknai perlarik atau perbait tanpa mengaitkan antara yang satu dengan yang lainnya,  hal tersebut dikarenakan teks puisi yang terdiri dari beberapa bagian tadi merupakan satu kesatuan sistem yang tak terpisahkan—sebuah matriks—satuan dari unsur-unsur bahasa yang saling berkaitpaut dalam pemaknan utuh ayat puisi.    

Seperti halnya saat ini ketika saya dihadapkan dengan teks puisi DOA karya Chairil Anwar. Saya pikir akan terlalu terburu-buru jika saya atau Anda (mungkin), sebagaimana opini Narudin Pituin dalam salah satu status face book tertanggal 29 Maret 2016 yang menyimpulkan bahwa bait awal dalam ayat puisi DOA tersebut merupakan cerminan dari keragu-raguan yang parah dari Chairil Anwar.

Narudin Pituin
29 Maret 2016 •

SI BINATANG JINAK

Tuhanku
Dalam Termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

(Chairil Anwar)
________
Bait ini adalah bait keraguan yang parah. Ada yang mampu menganalisisnya dengan teori Dekonstruksi Jacques Derrida?

Dalam konteks ini, saya tidak sependapat dengan opini Narudin Pituin. Saya tidak habis pikir, bagaimana pemikiran seperti itu muncul, tanpa diperjelas dulu dalam konteks apa yang dimaksudkan dengan keragu-raguan yang parah tersebut. Apakah yang dimaksudkan bahwa Chairil Anwar ragu-ragu dalam memindahkan idea, gagasan, tema atau amanat dalam bentuk teks tulis dalam bait termaksud? Atau keragu-raguan Chairil Anwar dalam konteks pemaknaan yang dibawa teks dalam bait tadi?

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Teks puisi merupakan bentuk ekspresi penyair dalam sebuah tulisan. Teks, yang dalam arti harfiah KBBI salahsatunya;  teks /téks/ n 1 naskah yg berupa a kata-kata asli dr pengarang; b kutipan dr kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan; c bahan tertulis untuk dasar  2 wacana tertulis; –diskursif teks yg mengaitkan fakta secara bernalar; — ekspresif teks yg mengungkapkan perasaan dan pertimbangan dalam diri pengarang.

Dari beberapa pengertian dalam KBBI ini, saya menarik dua kesimpulan, pertama, bahwa tidak ada yang namanya teks, atau kita kerucutkan “bait” yang ditulis penyair sebagai bait ragu-ragu (dalam tanda kutip). Kedua, jika yang dimaksud “ragu-ragu” tadi dalam konteks pemaknaan atau arti bahasa yang dibawa oleh teks puisi—pengambilan arti bahasa  dari sudut pandang pembaca atas teks, maka pendapat tadi sah-sah saja (dengan catatan, bukan akhir dari sebuah tafsir).

Kembali pada bait pertama  puisi DOA Chairil Anwar, saya justru berpandangan bahwa bait awal ini merupakan bait yang tegas dalam mencitrakan ekspresi aku lirik. Dan ini baik, sebab dengan begitu akan lebih mudah bagi pembaca dalam mendekati tema yang dibebankan penyair dalam teks pusinya. Jadi ragu-ragu di sini bukan berkaitan dengan penyair dalam menyusun huruf, frasa, dan kata dalam bait. Tapi berkaitan dengan pembaca selaku yang membaca atau yang mengurai tanda atau penanda untuk mendapatkan makna.

Memaknai teks puisi, adalah bagaimana pembaca membuka simpul-simpul tanda dan penanda  dalam satu matarantai utuh  ayat puisi. Sebab sebagai sistem matriks, ayat puisi yang terdiri dari berbagai tanda dan penanda, saling memberikan pengaruh yang adakalanya tidak terduga, ternyata telah menggeser arti dan peran awal penanda yang dipengaruhi penanda lainnya, Bahkan tidak menutup kemungkinan hadirnya penanda  ketiga  bisa merubah kedudukan kata sebagai tanda berubah fungsi sebagai penanda, dan atau sebaliknya. Seperti yang saya pikirkan ini terjadi pada kata /DOA/,  /kepada pemeluk teguh/, dan /Tuhan/

DOA
 kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Dalam pembacaan pertama,  Chairil Anwar sebagai aku lirik berdoa—DOA (penanda), kepada Tuhan (tanda). Artinya di sana terjadi komunikasi langsung aku lirik dengan Tuhan. Tapi saat ada frasa lainnya masuk ke dalam sebuah sistem yang sudah terbentuk, dan frasa tadi—kepada pemeluk teguh—mempunyai arti yang bertentangan dengan frasa sebelumnya—Tuhanku—terjadi pembalikan komposisi—yang tadinya sebagai tanda dan penanda (Tuhan dan Doa), kini keduanya berubah menjadi penanda.

Terjadinya perubahan posisi peran antar penanda ini, menghadirkan citraan yang tidak tertampakkan secara langsung (metafisika) dalam teks—citraan yang muncul di imaji hayatan saya selaku pembaca, adalah aku lirik yang tengah bercerita (semacam dalam bentuk sebuah surat) kepada sosok yang disebutnya pemeluk teguh tadi, dan //Tuhanku/ Dalam termingu/ Aku masih menyebut namaMu// kini telah dialihfungsikan sebagai metafora dari suatu proses kesadaran aku lirik dari sebuah proses perjalanan keimanan di masa lampau—diksi “masih” merujuk pada keterangan waktu (adverbia waktu).

Adanya pembalikan arti bahasa—dari yang tampak sedang berdoa, atau termenung dan kesadaran yang ingat pada Allah SWT—terjadi pembalikan arti yang aku lirik tidak sedang benar-benar termangu pada saat itu, tapi termangu di sini adalah pantulan dari waktu lampau ke waktu kini (saat dia—anggap sedang bercerita pada sosok yang disebutnya pemeluk teguh), namun makna yang dibawa termangu ini, di sana tidak bergeser, tetap membawa arti kesadaraan, bukan keraguan. Dan hal tersebut dipertegas dengan larik ke dua yang menghadirkan kata “Biar” sebagai kata keterangan perlawanan (adverbia konsesif) dan ketidakkonsistenan gramatikal dalam peneraan huruf capital dan unkapital di awal larik—penyimpangan tata sastra (ungramatikal) biasanya dipekerjakan penyair karena ada bagian ekspresi penyair yang tidak tertampung secara tata bahasa.

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi         

Jika dalam larik pertama, yang dalam pemaknaan terbalik saya mendapati Chairil Anwar yang tengah menceritakan kepada pemeluk teguh betapa dia mendapatkan suatu kesadaran dari sebuah proses perjalanan keimanan di masa lampau, yang karena sesuatu hal (bisa jadi rasa tidak puas pada Tuhan yang dipandang tidak adil padanya dengan memberi cobaan berat (mungkin) atau kemungkinan lainnya yang menjadi penyebab, namun dalam termangu; termenung, ditemukan kesadaran bahwa ternyata Tuhan tetap yang maha agung, maha adil, dan maha suci dengan segala kehendaknya. Dan jawaban larik pertama tentang cobaan dan rasa tidak puas aku lirik (dalam tanda kutip) terjawab dalam larik kedua / Biar susah sungguh/ dan rasa ketidakyakinnannya atas kebenaran serta keadilan Tuhan (mungkin), terekspresikan lewal penulisan unkapital huruf “c” di awal kata awal larik dan bait / cayaMu panas suci/.

Pembalikan arti bahasa yang diakibatkan oleh keunikan bahasa puisi, yang mana antar penanda memberi pengaruh satu dengan yang lainnya, dan juga tanda yang tidak lagi menjadi sesuatu yang akhir, namun bisa saja tiba-tiba kembali bergerak karena adanya tekanan dari penanda yang lainnya dalam satu jaringan matriks.

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Jika diperhatikan, dalam bait empat dan lima /Tuhanku/ di sana tipografi huruf ditulis capital /T/, sementara di bait lima yang juga merupakan awal baris dan bait  yang semestinya huruf /A/ secara gramatikal, namun di sana terjadi ketidakgramatikalan dengan menuliskan /a/, dan saya menangkap ini sebagai bentuk dari kinerja tata sastra yang saya menangkap /a/ dipekerjakan sebagai simbol kepasrahan dari sebuah kesadaran yang aku lirik hanyalah sang fakir dihadapan Tuhan—Tuhanku–berdiri tunggal—bentuk ekspresi kepasrahan lainnya melalui permainan tipografi puisi.

Bilamana penanda dalam bait empat serta lima ini ditautpautkan dengan penanda-penanda sebelumnya, sangat terbuka untuk dimaknai sebagai ketegasan dalam menggambarkan kian terbukanya kesadaran mental spiritual aku lirik—dan ini masih dalam kaitan chairil kepada yang disebutnya sebagai pemeluk teguh. Dan pemeluk teguh di sini bisa pembaca yang di luar aku lirik, atau bisa juga aku lirik lain yang ada di dalam aku lirik. 

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas sebelumnya, bahwa terjadinya pembalikan arti bahasa doa; harapan pada Tuhan telah bergeser menjadi doa; harapan kepada pemeluk teguh—tapi pergeseran arti bahasa ini tidak sertamerta menjadika derajat pemeluk teguh  lebih tinggi dari Tuhan, sebab koneksi DOA yang dalam judul tidak putus dari matarantai sistem (matriks). Ilustrasi mudahya begini, Chairil menceritakan betapa dia merasa tidak tahu apa-apa tentang hakikat iman, namun kesadarannya senantiasa merindukan berjalan di jalan Tuhan—dan chairil berharap sosok yang dipandang sebagai pemeluk teguh memberikan nasihat.spiritual untuk mencapai puncak keyakinan karena benar-benar sudah …  tidak bisa berpaling—bisa jadi tidak bisa berpaling di sini, dikarenakan chairil sudah terjerembab jauh dalam kegelapan, atau justru ini awal dari kesadaran chairil secara spiritual? Wallahu a’lam bish-shawab.

Mataram, 12 April 2016

Literature:

  1. 1) The Journals Text Derivation By Johanne Prud’homme and Nelson Guilbert; Université du Québec à Trois-Rivières http://www.signosemio.com/index-en.asp
  2. Suyitno. Kritik Sastra – Penerbit LPP UNS Press, 2009—Kajian Pendekatan Struktural Pada Puisi..Hal. 29-45.
  3. Metode Diagram—Catatan Pribadi.
Imron Tohari
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *