Ketika membahas tentang Purwokerto, kata ‘satria’ tak pernah dilupakan. Memang apa yang ada di sana? Kotanya sederhana layaknya kota sebelah, mendoan yang sudah ada di penjuru jawa, bahasa Jawa Ngapak yang kalah pamor dengan tetangganya. Namun, tak ingatkah kalian kalau Purwokerto melahirkan sejajar pahlawan yang berpengaruh bagi negara tercinta ini, sebut saja Jenderal Sudirman. Tak hanya itu, Purwokerto juga menjadi tempat singgah para penyair di Nusantara.
Kurniawan Junaedhie, sastrawan asal Magelang yang besar di Purwokerto dan tinggal di Jakarta. Ia menulis beberapa puisi, cerpen, dan esai di berbagai media massa. Seperti buku kumpulan puisi yang berjudul Sepasang Bibir di Dalam Cangkir dan Alangkah Ganjilnya Sebuah Kota Tanpa Kamu di Dalamnya, kedua buku tersebut merupakan karya Kurniawan Junaedhie. Puisi-puisi Kurniawan Junaedhie menggunakan kata-kata yang tak punya arti kiasan. Lebih terlihat seperti cerpen yang disajikan dalam bentuk mini. Penulisannya merupakan peristiwa atau kejadian yang ditanggapi, dirasakan secara beragam. Ketika membaca puisi ini mengundang rasa pembaca untuk mengulang membaca lagi apa yang disampaikan.
Purwokerto Dari jendela kereta, Purwokerto hanyalah sebuah pijar lampu. Satu titik cahaya yang hablur ketika kereta laju. Begitu banyak masa kecilku hilang di kelok sungai, di petak sawah, dan di baris sajak. Perasaan sedih tak pernah pupus, sekalipun kini menjadi puing. Entah rindu, entah benci, entah milikku entah milikmu, setiap kali kereta berhenti di stasiun, gemetar jari-jemariku. Kurindukan selalu wajah ibu, muncul di jendela kaca, melempar senyum, atau sekedar melambaikan tangan.
Puisi yang berjudul Purwokerto merupakan salah satu puisi karya Kurniawan Junaedhie dari bukunya Alangkah Ganjilnya Sebuah Kota Tanpa Kamu di Dalamnya yang ditulis pada tahun 2019. Puisi Purwokerto ini menggambarkan kisah yang dirasakan oleh penulis. Kurniawan Junaedhie merupakan seorang sastrawan yang berasal dari Magelang, saat SMA ia bersekolah di kota Purwokerto.
Seperti dalam puisi ini, Kurniawan Junaedhie menuliskan apa yang dirasakannya. “Dari jendela kereta, Purwokerto hanyalah sebuah pijar lampu”, maksud dari larik ini melihat kota Purwokerto dari dalam kereta terlihat hanya seperti sebuah lampu, saat kereta melaju dengan cepat hanya terlihat satu titik cahaya. Purwokerto dianggap sebagai lampu yang kalau ditelaah merujuk pada penerangan, cerah, mengkilap. Bisa jadi penulis beranggapan kalau kota ini merupakan sumber harapan baginya.
Penulis merasa sedih karena harus meninggalkan kota kelahirannya untuk melanjutkan pendidikannya di Kota Purwokerto, seperti pada larik “Perasaan sedih tak pernah pupus, sekalipun kini menjadi puing”. Kemudian pada larik “Entah rindu, entah benci, entah milikku entah milikmu, setiap kali kereta berhenti di stasiun, gemetar jari-jemariku”, di larik ini menggambarkan rasa rindu penulis kepada kota kelahirannya, orang tuanya, dan hal-hal yang membuat diri penulis merasa nyaman. Memang benar, saya sebagai perantau juga merasakan hal yang sama. Akan tetapi, keteguhan hati harus disikapi sedewasa mungkin.
“Kurindukan selalu wajah ibu, muncul di jendela kaca, melempar senyum, atau sekedar melambaikan tangan”, penulis merasakan kerinduan kepada ibunya, ia harus berpisah dengan ibunya untuk kembali merantau ke Purwokerto. Ia hanya bisa senyum dan melambaikan tangan dari jendela kaca saat kereta sudah mulai berjalan. Sebuah peristiwa yang tak pernah lepas dari ingatan, lalu penulis mengabadikannya melalui puisi Purwokerto ini.