Penyair banyak membuat defenisi puisi menurut pemahaman dan pengalamannya sendiri. Apa yang mereka sebut, bisa benar. Tetapi tidak bisa dijadikan sebagai makna menyeluruh dari puisi itu sendiri. Sebab pada hakikatnya, mereka tidak bisa memberikan batasan yang jelas terkait pengertian dari puisi itu sendiri. Hal apa saja yang bisa dijadikan pijakan dasar dan tidak pada sebuah puisi. Bahkan, kata Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, dalam sebuah buku “Berkenalan dengan Puisi”, telah banyak batasan dirumuskan orang, dan di antaranya terdapat perbedaan dan persamaan. Akan tetapi, kesepakatan defenitif yang mencakupi seluruh ragam dan corak puisi yang ada merupakan hal mustahil. Batasan yang sampai sekarang masih banyak diyakini orang adalah yang mengatakan bahwa puisi merupakan karya yang terikat. Sebenarnya tidak ada kejelasan terkait batasan dan keterikatan itu. Batasan tersebut juga tidak mungkin mencakupi semua ragam dan corak puisi yang ada.
Dalam perspektif sejarahnya, sifat puisi cenderung berganti-ganti arah. Itulah sebabnya, upaya mendefenisikan puisi yang berlaku umum untuk semua periode sejarah sastra sering menjadi sia-sia. Batasan puisi haruslah dipertimbangkan dalam konteks kesejarahan atau periode tertentu. Misal, ketika puisi dibatasi oleh teks (baik secara ekspresif, imitatif, objektif, maupun reseptif) yang diikat oleh berbagai kesatuan yang ada di dalamnya seperti jumlah suku kata dalam tiap baris, jumlah baris dalam bait, atau hubungan antarbaris dan antarbait, niscaya batasan itu hanya berlaku bagi puisi lama yang konvensional semacam pantun.
Puisi memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan. Karenanya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifatnya yang relatif, dan juga diperhitungkan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu …
Para penyair, banyak menulis puisi yang menerangkan defenisi puisi menurut pengalaman mereka sendiri. Seperti: puisi penyair karya Sapardi, Penyair karya Linus Suryadi, Penyair karya Mansur Samin, Pidato karya Saini K.M, Sajak karya Sanusi Pane, Tentang Menulis Sajak karya Syu’bah Asa, Sajak karya Wing Kardjo, Sajak karya Ayatrohaedi, Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung karya Taufik Ismail, Dengan Puisi karya Syahril Latif, Sajak karya Subagio Sastrowardojo, Kepada Sebuah Sajak karya SDD, Sajak 2 karya SDD, Puisi karya Dodong Djiwapradja, Sajak I, II, II karya Susy Aminah, Dengan Puisi Aku karya Taufik Ismail, dsb. Anda bisa baca puisi-puisi tersebut untuk melihat betapa beda rupanya makna dan batasan dari puisi itu.
Jika merujuk batasan, bagaimana pula kita melihat puisi-puisi visual, konkret, jika dibandingkan dengan puisi yang fokus kepada teks biasa. Bahkan, pengertian puisi yang dicemplungkan oleh KBBI, sebenarnya juga rapuh untuk dicolek dan dicubit. Belum bisa mencakupi makna dari puisi yang luas itu. Barangkali itu jualah sebabnya banyak penyair, orang awam, dst., terlalu mengkotakkan defenisi dari puisi. Jadi jangan heran, perkembangan dari puisi akan terhambat.
- Jangan Nilai … - 10 November 2024
- Hai AI, Apakah Kamu Mengenal Saya? - 9 September 2024
- Cerita Horor - 15 Agustus 2024