Salah satu hal yang unik dari puisi dibanding karya sastra lain adalah terletak pada unsur perwajahan pada puisi atau yang sering kita kenal dengan tifografi. Sayangnya, tidak semua orang termasuk penyair itu sendiri yang mengetahui betapa luasnya sisi perwajahan ini.
Orang-orang awam, sebagian penyair, masih berpikir–masih terpaku kepada model konvensional. Puisi-puisi yang dibentuk atau disusun oleh larik-larik dan bait. Sebagian dari mereka, menerjemahkan lebih ekstrim lagi, seperti puisi harus tiada tanda baca, tiada kata sambung (hubung), setiap awal larik harus memakai huruf besar. Bahkan lebih jauh, puisi yang baik disebut memakai permainan rima di akhir larik–persajakan akhir pada puisi.
Orang-orang yang pikirannya lebih terbuka, memahami hakikat puisi yang lebih luas, maka puisi bisa diletakkan dalam wadah apa saja. Ia bisa saja menjadi garis-garis seperti anak panah, cacing, naik turun bagai gunung, bulatan, visual (gambar-gambar tertentu), dan sebagainya. Seperti menginfeksi ribuan komputer sebagaimana sebuah malware yang ditulis oleh programer.
Biasanya orang-orang yang masih terkungkung pada wajah-wajah konvensional, ada beberapa sebab. Seperti kurang membaca dan mendalami puisi lebih jauh, atau bisa juga terlalu taat pada pola-pola konvensional. Bisa juga cara menafsirkan sebuah puisinya terlalu sempit melalui sudut pandang tertentu. Padahal, unsur ini adalah unsur yang termasuk memegang peran penting bagi penyair yang suka berkesperimen, memainkan visual dan simbol-simbol tertentu, dsb. Karena mereka tahu, puisi itu luas dan inti dari bahasa. #FatwaKumat
***
Ilustrasi foto, (Foto: Satelitpos.com)
- Tinjauan Psikologis atas Puisi “Adegan Film yang Belum Pernah Kau Tonton” Karya Titan Sadewo - 2 Maret 2025
- Takut AI, Tapi Percaya AI: Ironi Dosen dan Pakar dalam Menilai Tulisan - 1 Februari 2025
- KALA DOSA PADA LAUT - 25 Januari 2025
Pingback: Puisi: Pengertian, Tujuan, dan Unsur - My Learning Trails