Antara Kualitas dan Keviralan: Rahasia di Balik Meledaknya Film Jumbo

Antara Kualitas dan Keviralan: Rahasia di Balik Meledaknya Film Jumbo

Film Jumbo mencuri perhatian publik sejak pertama kali tayang di bioskop pada 31 Maret 2025. Hingga hari ke-19 penayangannya, film animasi karya anak bangsa ini sudah berhasil menggaet lebih dari lima juta penonton. Capaian luar biasa ini menempatkan Jumbo bukan hanya sebagai film Lebaran terlaris tahun ini, tetapi juga sebagai film animasi dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah Asia Tenggara. Yang menarik, antusiasme penonton belum menunjukkan tanda-tanda surut. Angka ini masih sangat mungkin terus meningkat—dan bukan tak mungkin Jumbo akan menyaingi film terlaris Indonesia sejauh ini, KKN di Desa Penari. Terlebih lagi, film ini akan segera tayang di 17 negara lain di kawasan Asia dan Eropa.

Banyak yang menyebut Jumbo sebagai film animasi terbaik yang pernah dibuat di Indonesia. Bahkan, beberapa berani menyandingkannya dengan kualitas produksi animasi Pixar. Walaupun terdengar agak berlebihan, tetap saja, pada beberapa aspek, klaim itu terasa tidak sepenuhnya mengada-ada. Kritik-kritik kecil memang mulai bermunculan dari sejumlah pengamat dan penikmat film, namun besarnya apresiasi masyarakat berhasil menenggelamkan suara-suara sumbang tersebut. Dukungan pun mengalir deras, bahkan muncul buzzer-buzzer “gratisan” dari penonton organik yang secara sukarela menyuarakan kekaguman dan mempromosikannya di media sosial. Hasilnya, Jumbo semakin populer dan membangkitkan rasa penasaran khalayak luas.

Selain banjir ulasan positif, faktor lain yang membuat Jumbo laris manis adalah kekuatan komunitas penontonnya. Di media sosial, mereka bergerak seolah dalam satu komando, menyuarakan dukungan dengan penuh keikhlasan. Gerakan organik seperti ini menjadi kekuatan penting dalam menjadikan sebuah karya fenomenal. Ryan Adriandhy, kreator Jumbo, dengan rendah hati mengakui hal tersebut. Melalui unggahan Instagram pada Sabtu, 19 April 2025, ia menyampaikan rasa syukurnya atas kesuksesan film yang 100 persen diproduksi oleh anak bangsa. Dalam unggahan itu, ia dan istrinya, Aniza Bella, turut menyanyikan original soundtrack Jumbo yang berjudul Dengar Hatimu.

Dukungan juga datang dari luar negeri, termasuk dari karakter animasi populer Malaysia seperti BoBoiBoy dan Papa Pipi, yang turut mempromosikan Jumbo lewat berbagai platform seperti Instagram dan X sejak awal April 2025. Ini tentu menjadi pencapaian penting bagi industri animasi Indonesia.

Pencapaian ini diharapkan membawa dampak positif bagi film animasi Indonesia ke depan. Ruang untuk menayangkan film animasi di layar lebar kini terbuka lebih lebar. Fakta bahwa masyarakat kita ternyata punya ketertarikan besar terhadap film animasi menjadi kabar baik, terutama di tengah dominasi film horor yang selama ini mendominasi bioskop. Tapi pertanyaannya, apakah fenomena ini akan benar-benar melekat di hati penonton? Atau hanya euforia sesaat, semacam antusiasme musiman yang nanti menghilang ketika tak lagi viral?

Sebagaimana yang sering terjadi, masyarakat kita seringkali mencari dan menyukai sesuatu karena viralitas—dan sebaliknya, menolak sesuatu juga karena ikut arus kebencian yang sedang ramai.

Tantangan besar menanti para pembuat film animasi selanjutnya. Mereka dituntut menghasilkan karya dengan kualitas minimal setara Jumbo. Sebab standar penonton sudah naik. Ini menjadi PR tersendiri di balik munculnya harapan baru dari geliat penonton film animasi lokal. Bahkan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, menilai keberhasilan Jumbo sebagai penanda dimulainya era baru industri animasi Indonesia.

Sebelum Jumbo, film-film animasi Indonesia seperti Nussa The Movie, Si Juki The Movie, Adit Sopo Jarwo The Movie, dan serial-serial seperti Kiko juga pernah tayang. Namun, kesuksesan mereka belum menyamai Jumbo. Dengan capaian kali ini, kita bisa optimistis bahwa kerangka penonton film animasi di Indonesia sesungguhnya sudah terbentuk. Sebagaimana kita menyaksikan betapa suksesnya serial animasi dari negara tetangga seperti Upin Ipin, BoBoiBoy, hingga Mechamato, yang disukai masyarakat Indonesia. Kekuatan mereka terletak pada karakter yang jelas dan hidup, serta cerita yang kuat dan membekas.

Inilah yang seharusnya menjadi perhatian penting bagi para pembuat film animasi kita. Banyak dari film kita masih berkutat pada pesan-pesan toleransi, budaya, atau petuah moral, sering kali disampaikan secara gamblang dan menggurui. Sementara Jumbo justru tampak melampaui pendekatan tersebut—lebih cair dan mengalir secara emosional. Salah satu keunggulan Jumbo dibanding film animasi Malaysia tadi adalah rentang usia penontonnya yang lebih luas, tak hanya anak-anak. Walaupun, beberapa pengamat juga menilai bahwa Jumbo tidak sepenuhnya cocok ditonton anak-anak tanpa bimbingan orang tua. Namun justru di sinilah kekuatannya: film ini berhasil menciptakan jangkauan emosi dan pesan yang menyentuh banyak kalangan.

Jika boleh disamakan dengan dunia sastra, film animasi yang baik bukanlah yang sekadar menyampaikan pesan secara langsung dan kaku—seperti khutbah atau teguran yang membentak—tetapi seperti puisi yang baik: ia membuat pembaca merenung, merasa, dan menemukan makna. Ia tidak memaksa, tapi menyentuh.

20 April 2025

Indra Intisa
Ikuti saya
0Shares

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *