Analisis Puisi “Burung-Burung Melayang” Berdasarkan Teori Ekopuitik dan Ekologi Sastra

Analisis Puisi “Burung-Burung Melayang” Berdasarkan Teori Ekopuitik dan Ekologi Sastra

Shiny Elpoesya, seorang penyair sekaligus pendiri Sains Puisi Lab, yang bertujuan menciptakan ruang bagi pembelajaran dan pengembangan sastra puisi melalui berbagai platform seperti Telegram dan situs sainspuisi.com, telah lama dikenal dengan karya-karya puitis yang mengandung eksperimen dan tema-tema filsafat. Melalui karya-karyanya, Elpoesya memperkenalkan pemikiran yang mendalam tentang relasi manusia, alam, dan dunia permenungan. Salah satu puisi yang menonjol dalam hal ini adalah Burung-Burung Melayang, sebuah karya yang mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap degradasi lingkungan dan kerusakan ekologis, dengan pendekatan yang menggabungkan elemen spiritual dan moralitas.

BURUNG-BURUNG MELAYANG
Karya: Shiny Ane El’poesya

kini bumi
terengah, paru-parunya
tersumbat abu, mesin hantu-hantu
jantungnya memompa urin
pekat pengolahan bahan baku
langit seperti kain tua
yang lupa dicuci. meski hujan
membasuhi, setengahnya
asam lengket bau
leleh awan kusut gelap
kelabu

sungai-sungai terhuyung, terbebani
dahak-dahak manusia
tersedak botol dan kaleng
di pinggirnya, pohon-pohon bertahan
dahan ranting kenyang namun kering
daun-daunnya memar ungu
akar-akarnya menyerap racun
dan kodok-kodok pun
jadi dewa mabuk!

sawah-sawah meleleh
terbakar plastik dan limbah
tikus-tikus rakus berlarian ke masjid
ular-ular jahat bersemayam
di dalam rumah
ribuan jangkrik dan belalang
mati di jalanan

di ujung pandang
gunung-gunung dalam diam
dan sisa-sisa kebijaksanaannya
menangis, puncaknya terkoyak
leher-lehernya keruk
pinggul-pinggulnya ditelanjangi
sumber-sumber puncarnya
dipasak besi

sementara angin pantai
mengirim gigil pesan
lautan sebenar air mata
terlalu lapang untuk
ludah manusia
terlalu dalam untuk pena
mendaur ulang liur duka
sebab monters-monster laut
telah punah
bukan oleh terhantam ombak
tertusuk gundukan karang
tertelan palung samudera
atau terbunuh anak-anak dewa
namun sebab kembung lendir
selangkang-selangkang tongkang

tetapi masalahnya
bukanlah pada sampah-sampah
yang ada di bumi dan di langit
namun bagaimana
sampah yang tak terlihat
limbah yang membusuk
di dalam diri kita

keserakahan yang mengalir
seperti lemak bagi darah
ambisi yang berkobar
antara mimpi-mimpi siang
dan petualangan bodoh
moralitas yang macet
tangan-tangan yang cabul
kaki-kaki yang menindas alam

o, jiwa!
rawatlah kebun bumi
yang terlupakan oleh manusia
tanamlah benih
penghormatan, sirami
hingga kebijaksanaan bermekaran
kembali di udara yang bersih
sebab adanya pikiran murni
dan tangan yang mengikuti
dari akar-akar kehidupan
yang lebih sehat

dengarkanlah ke dalam
bisikan taman muasal
reguklah air minum bersih
yang menetes
pada liris gerimis dan hujan
rusaknya zaman
agar engkau sembuh
dan menyembuhkan
kekacauan

buanglah sampah
pada pikiranmu; buang
namun sekaligus jadikan
ia kehidupan yang baru:
sayur dan nasi basi
jadi pupuk
plastik-plastik
jadi lelehan relief
kaleng jadi lampu

kesibukan-kesibukan
rizki-rizki semu
jadi ingatan dan ikatan
pada Sang Waktu
jadi pondok-pondok
kemanusiaan: arca-arca
pahatan
yang belum juga selesai, kata-kata
yang penuh obrolan percuma
jadi patung-patung puisi

o, jiwa!
rawatlah kebun bumi
buanglah sampah
pada pikiran dan lub-lubmu
sebab engkaulah
burung-burung melayang
roh-roh, angin Allah abadi
di langit-langit kesadaran suci
di angkasa kita ini

Desember 2024

Puisi “Burung-Burung Melayang” karya Shiny Ane El’poesya memuat kritik sosial-ekologis yang kuat dengan bahasa puitis yang menyoroti hubungan manusia dengan lingkungan. Pendekatan ekopuitik yang digunakan berfokus pada isu ekologis, degradasi lingkungan, serta refleksi spiritual terkait relasi manusia-alam. Dalam konteks ekologi sastra, puisi ini relevan sebagai wacana kesadaran lingkungan yang mengintegrasikan dimensi budaya, etika, dan spiritualitas.

Teori ekopuitik menekankan pada kritik kerusakan lingkungan, hubungan manusia-alam, dan refleksi spiritual-ekologis. Dalam puisi ini, kerusakan lingkungan diekspresikan melalui citraan “paru-parunya tersumbat abu” dan “gunung-gunung dalam diam menangis.” Deskripsi ini mengkritik dampak eksploitasi manusia terhadap alam, yang diperkuat dengan simbol “langit seperti kain tua yang lupa dicuci.” Lebih jauh, frasa “dahak-dahak manusia” dan “limbah yang membusuk di dalam diri kita” mengungkap kerusakan moral manusia sebagai akar permasalahan.

Hubungan manusia dengan alam dalam puisi ini digambarkan sebagai relasi predator-mangsa. Eksploitasi sumber daya alam tercermin pada baris “leher-lehernya keruk, pinggul-pinggulnya ditelanjangi.” Selain itu, keterasingan manusia dari keseimbangan ekologis tergambar melalui simbol “ular-ular jahat bersemayam di dalam rumah,” yang merepresentasikan ancaman balik dari alam akibat perusakan yang dilakukan manusia.

Unsur spiritual menjadi elemen penting dalam kritik ekologis puisi ini. Panggilan introspektif “o, jiwa!” mengajak manusia untuk merenungkan posisi mereka di alam semesta. Seruan untuk membersihkan “sampah” internal–keserakahan dan ambisi–dinyatakan sebagai langkah awal menuju harmoni ekologis. Selain kritik, puisi ini juga menawarkan solusi simbolis seperti “menanam benih penghormatan” dan “mendaur ulang liur duka” sebagai ajakan membangun hubungan baru antara manusia dan alam.

Dalam teori ekologi sastra, alam dipersonifikasi sebagai entitas yang memiliki agensi. Gambaran “gunung-gunung menangis” dan “sungai-sungai terhuyung” menunjukkan kerentanan ekologis akibat intervensi manusia. Budaya konsumerisme dan eksploitasi menjadi akar masalah, tercermin dalam frasa “ambisi yang berkobar antara mimpi-mimpi siang.” Kritik terhadap peradaban modern juga terlihat pada citra “monsters-monster laut telah punah bukan oleh terhantam ombak,” yang menggambarkan kehancuran ekosistem akibat aktivitas manusia, bukan proses alami.

Puisi ini memiliki kekuatan estetika melalui penggunaan diksi indah dan metafor yang kuat. Pesan ekologis yang diusung bersifat universal dan relevan dengan krisis lingkungan global. Kedalaman spiritualitas yang terkandung memperkaya makna karya ini. Namun, eksplorasi solusi dalam puisi ini kurang konkret dan citraannya yang kompleks mungkin menyulitkan pembaca awam.

Secara keseluruhan, “Burung-Burung Melayang” adalah contoh karya ekopuitik yang menggabungkan estetika, moralitas, dan spiritualitas. Dengan mencerminkan kerusakan hubungan manusia-alam, puisi ini menginspirasi refleksi mendalam untuk membangun kembali harmoni ekologis. Meski terdapat beberapa kekurangan, puisi ini tetap relevan sebagai kritik ekologi dalam menghadapi tantangan lingkungan global saat ini.

Indra Intisa
Ikuti saya
Latest posts by Indra Intisa (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *