Analisis Puisi “Bukan Bertepuk Sebelah Tangan” Berdasarkan Teori Ekspresif

Analisis Puisi “Bukan Bertepuk Sebelah Tangan” Berdasarkan Teori Ekspresif

Bukan Bertepuk Sebelah Tangan
Karya: Abdul Kadir Ibrahim

kalau tebingnya sungai terluka
pasir pantai batu karang juga
lautan dan pulau-pulau berdarah
aku teringat sungguh kepadamu sumpah

dari mana gemuruh ombak
sampai ke mana desau angin
hantar kepada siapa cinta dirompak
di kubur hati kau selangit yakin

pagipagi merentas semak hutan
suara burung gemetar seruling
gesekan dedaunan rindu berangan
duhai engkau cintaku paling

nyala api di tungku tiga
jerang kuali memasak ketupat
jika engkau kepadaku sempat
sebelum pulas ingatlah aku saja

Tanjungpinang, 31/10/2020

Teori ekspresif dalam sastra memusatkan perhatian pada karya sebagai ekspresi dari jiwa, emosi, dan pengalaman pribadi penulis. Menurut William Wordsworth, puisi adalah “luapan spontan perasaan yang kuat” yang muncul dari emosi yang diingat dalam suasana tenang. Puisi ini menjadi medium untuk menjembatani perasaan terdalam penulis dengan pembaca. Dalam konteks ini, puisi “Bukan Bertepuk Sebelah Tangan” karya Abdul Kadir Ibrahim menggambarkan perasaan cinta, rindu, dan kesetiaan yang dibingkai melalui simbolisme alam dan budaya lokal. Abdul Kadir Ibrahim, seorang penyair dari Kepulauan Riau, dikenal karena kemampuannya melestarikan tradisi Melayu melalui karya-karya yang sarat nilai lokal dan spiritualitas.

Puisi ini menonjolkan tema cinta yang mendalam, yang tidak hanya berpusat pada hubungan personal, tetapi juga mencerminkan keintiman manusia dengan alam dan tradisi. Pada bait pertama, frasa seperti “tebingnya sungai terluka” dan “pulau-pulau berdarah” menjadi metafora yang menyiratkan rasa luka dan kehilangan. Gambarannya sangat personal, seolah menunjukkan pengalaman batin yang penuh penderitaan, tetapi juga universal karena pembaca dapat merasakan emosi tersebut melalui simbol alam yang digunakan.

Dalam bait kedua, emosi cinta yang terenggut semakin ditekankan dengan pertanyaan retoris, “dari mana gemuruh ombak, sampai ke mana desau angin.” Ini menggambarkan kegelisahan batin yang terpantul dari suara alam, seolah-olah alam menjadi cerminan jiwa yang gelisah. Penulis menempatkan pembaca dalam ruang refleksi emosional, menciptakan hubungan erat antara ekspresi pribadi dan pengalaman kolektif.

Bait ketiga dan keempat memperkuat tema cinta melalui penggabungan citraan budaya lokal. Frasa seperti “nyala api di tungku tiga” dan “memasak ketupat” memperkaya nuansa tradisional, memberikan kesan kedekatan dengan akar budaya Melayu. Elemen ini bukan hanya menjadi ornamen, tetapi juga sarana untuk mempertegas emosi penulis yang berkaitan dengan tradisi dan nostalgia.

Dari segi struktur, puisi ini memiliki pola unik yang seolah-olah terinspirasi dari bentuk pantun. Setiap bait mengandung elemen persajakan yang mengingatkan pada tradisi Melayu, meskipun tidak sepenuhnya mengikuti kaidah pantun. Pola persajakan yang bervariasi dan penggunaan diksi lokal memberikan sentuhan khas, menunjukkan kecerdasan penulis dalam mengolah unsur tradisional ke dalam format modern.

Meskipun simbolisme dan diksi yang digunakan sangat kuat, terdapat transisi yang terkadang terasa tiba-tiba. Sebagai contoh, peralihan dari penggambaran alam menuju elemen budaya seperti “tungku tiga” dan “ketupat” terasa kurang mulus, sehingga dapat menciptakan kebingungan bagi pembaca. Hal ini mungkin disebabkan oleh fokus penulis yang lebih diarahkan pada intensitas perasaan daripada kejelasan alur. Namun, jika ditinjau lebih mendalam, transisi ini juga dapat dimaknai sebagai cara penulis memanfaatkan konsep sampiran dalam tradisi pantun, di mana ada kesan patahan antara sampiran dan isi. Meski demikian, seluruh bait sebenarnya tetap menyatu dalam satu kesatuan puisi, memberikan kesan utuh yang menyampaikan emosi mendalam. Selain itu, elemen ini bisa pula dianggap sebagai cara penulis memberikan penutup simbolis pada keseluruhan puisi.

Dalam konteks teori ekspresif, puisi ini menjadi representasi emosional yang kaya dari sang penulis. Abdul Kadir Ibrahim menggunakan puisi sebagai medium untuk mengungkapkan cinta dan kerinduan yang mendalam, menjadikan pembaca tidak hanya sebagai penikmat, tetapi juga sebagai partisipan yang turut merasakan pengalaman emosional tersebut. Pendekatan simbolis yang digunakan, seperti metafora alam dan elemen budaya, menciptakan resonansi emosional yang kuat, sesuai dengan prinsip-prinsip Romantisisme yang menjadi landasan teori ekspresif.

Meskipun puisi ini berhasil mengkomunikasikan emosi batin dengan kuat, ada beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan. Penggunaan metafora seperti “di kubur hati kau selangit yakin” terasa terlalu abstrak, sehingga maknanya sulit dicerna tanpa interpretasi mendalam. Selain itu, perpaduan antara elemen alam dan budaya terkadang terkesan kurang harmonis, yang bisa mengurangi kesan menyatu dalam pengalaman emosional penulis. Dengan penyederhanaan struktur dan penghalusan transisi, puisi ini dapat mencapai tingkat komunikasi yang lebih baik tanpa kehilangan kedalaman emosionalnya.

Puisi “Bukan Bertepuk Sebelah Tangan” mencerminkan esensi teori ekspresif dengan sangat baik. Abdul Kadir Ibrahim berhasil menyampaikan emosi cinta, rindu, dan kesetiaan melalui pendekatan simbolis yang personal namun tetap universal. Dengan menggabungkan elemen budaya lokal dan citraan alam, puisi ini menjadi medium komunikasi yang kuat antara jiwa penulis dan pembaca. Meski memiliki kekurangan dalam struktur dan kejelasan metafora, karya ini tetap menjadi cerminan autentik dari perasaan dan pemikiran sang penulis, sekaligus menegaskan kedekatannya dengan tradisi Melayu.

Indra Intisa
Ikuti saya
Latest posts by Indra Intisa (see all)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *