Ngobrol bersama Alit S Rini, Pemenang Buku Puisi Pilihan Tempo Tahun 2023
Buku Puisi “Arunika” karya dari Alit S Rini dipilih oleh juri sebagai buku puisi terbaik Tempo tahun 2023 karena dianggap telah memperlihatkan pengalaman kultural penulisnya menyaksikan fakta tentang persoalan perempuan Bali, terutama yang berhubungan dengan tradisi dan sistem kasta. Buku ini membahas tantangan sebagai perempuan Bali yang mampu menggambarkan perjuangan dan pemikiran perempuan Bali secara mendalam dalam puisi-puisinya. Alit S Rini sebagai penulis, juga menggeluti hamparan palung piteket atau aturan main dalam kosmologi adat dan agama di Bali yang sering mengabaikan perempuan dalam pengambilan keputusan penting, bahkan yang menyangkut kehidupan perempuan sendiri (baca: Ini Dia Buku Puisi Terbaik Pilihan Tempo 2023).
Alit S Rini bernama lengkap Ida Ayu Putu Alit Susrini merupakan tamatan Sastra Inggris, Universitas Udayana, dan menulis puisi sejak remaja. Puisinya pertama kali masuk dalam rubrik Pos Remaja yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi sekitar tahun 1980-an. Lalu ia terus menulis puisi untuk berjuang masuk dalam rubrik Pos Budaya, peringkat tertinggi dalam proses penulisan puisi di Bali Post Minggu saat itu.
Selanjutnya, Alit S Rini menjadi penerjemah di Bali Post, lalu menjadi redaktur empat rubrik, yakni rubrik budaya, agama, pendidikan dan opini. Ia sempat menjadi redaktur pelaksana, dan tetap menggawangi desk opini hingga ia pensiun akhir tahun 2015.
Terkait menulis puisi tradisi Bali, ia sendiri juga sudah memulai sejak lama, sebagaimana termaktub dalam buku “Karena Aku Perempuan Bali” terbit tahun 2003. Terakhir, ia meraih penghargaan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2023.
Redaksi OmpiOmpi.com berkesempatan berbincang dengan Alit S Rini selepas pengumuman Pemenang Buku Puisi Pilihan Tempo Tahun 2023. Kami memperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan buku Arunika. Menurutnya, buku ini merupakan kritik sosial terkait tradisi Bali.
“Buku Arunika berisi kumpulan puisi bersifat kritik sosial terkait tradisi Bali. Saya terfokus pada sudut pandang saya sebagai perempuan dalam menjalani tradisi, sebagai pekerja di tengah perkembangan zaman—sebagai perempuan yang menjalani tradisi dan karier sekaligus. Dalam posisi itu, harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan, tarik menarik, bahkan benturan,” jelasnya, Senin (05/02/2024).
“Hal lain, ada praktik-praktik diskriminasi yang terjadi dan menimpa perempuan. Saya menyuarakan itu lewat puisi, dari sudut pandang perempuan,” lanjutnya.
Menarik ketika kita bahas puisi-puisi kritik sosial, dan hal-hal berbau tradisi daerah. Jika ada sebagian orang yang anti terhadap kritik budaya, justru sebaliknya ada juga yang melakukan kritik sebagai salah satu bentuk penghargaan dan cinta dari budaya itu sendiri. Bagaimana menurut Ibu terkait hal ini? Apakah betul demikian?
“Saya menjalani tradisi, terlibat dalam aktivitas adat di Banjar Adat, keluarga besar, pura, upacara agama. Jadi bukan berjarak dan menjadi penonton. Saya menjalani keseharian sebagai manusia tradisional. Tetapi keterlibatan sebagai manusia tradisi itu tidak membuat saya ‘buta’ terhadap hal-hal yang harus dikritisi. Tradisi, sistem kasta/warna (sistem hirarki) dalam masyarakat Hindu adalah realitas. Saya menerima dan menjalaninya sebagai warisan leluhur. Tetapi, tidak boleh ada praktik- praktik diskriminasi, merendahkan derajat manusia. Karena saya meyakini bahwa kemuliaan ada pada setiap kelahiran.”
Menurut Ibu, kenapa perlu dilakukan kritik terhadap praktik diskriminasi tersebut dalam bentuk puisi? Apa bedanya dengan wadah lain selain puisi?
“Puisi adalah salah satu media yang saya pilih untuk menyuarakan reaksi terhadap praktik diskriminasi. Saya juga menulis esai dan artikel. Semua itu menjadi media saya menyuarakan reaksi. Saya jurnalis (pensiun 2015 akhir) selama 28 tahun. Pernah mengasuh rubrik budaya, agama, pendidikan dan opini. Pernah menjadi redaktur pelaksana sekitar 5 tahun.”
Kenapa kritik ini perlu disampaikan menurut Ibu? Dan apa harapannya dari buku puisi ini terhadap publik dan objek yang sedang dikritisi?
“Perubahan sosial menghendaki, semangat zaman menghendaki tanpa meninggalkan nilai-nilai hakiki. Generasi milenial membutuhkan nilai-nilai egalitarian, tidak fanatis dan non diskriminatis. Tentu saya berharap buku saya dibaca secara luas, dan menjadi perenungan. Menjadi motivasi gerakan literasi selaras dengan gerakan dan semangat pemerintah Prov. Bali yang memberikan Bali Jani Nugraha kepada kalangan sastrawan modern Bali.”
Ceritakan dong, proses penyusunan buku ini.
“Bahan baku berupa puisi sudah menjadi tabungan saya selalu. Di sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga di masa pensiun, saya menulis puisi. Sistem ini terbiasa saya lakukan sejak ‘berguru’ kepada penyair besar Umbu Landu Paranggi (alm). Sehingga pada saat diperlukan untuk dikirim ke media massa atau dibukukan, saya sudah punya tabungan puisi. Cara ini sudah menjadi kebiasaan saya sejak menulis puisi tahun 80. Materi buku Arunika juga saya ambil dari tabungan puisi tahun 2020-2023.
Jika merujuk jumlah puisi yang terdapat dalam buku, ada terdapat sekitar 38 buah puisi. Apakah kesemua puisinya, bersepakat dengan tematik yang disebutkan sebelumnya? Seputar reaksi terhadap praktik diskriminasi, khususnya pada tradisi Bali?
“Sebagian besar.”
Berarti ada sepersekian yang lain, membahas hal-hal di luar tema besar. Tentang apa itu, Bu?
“Ada juga tentang perubahan sosial masyarakat. Bali dalam bentuk konsumerisme. Misalnya dalam puisi berjudul Living World. Tentang pembacaan dan interpretasi terhadap teks karya sastra klasik. Di sajak Rah Wana. Ada juga masalah domestik, hubungan dengan interpersonal, pada puisi Perayaan November, misalnya. Ada juga tentang kehidupan masyarakat.urban, puisi Lorong. Pembacaan saya terhadap peristiwa politik pada puisi Selebrasi Que Sera Sera.”
Sebelum memenangi Tempo 2023, Ibu Alit juga mendapatkan penghargaan Bali Jani Nugraha bidang Sastra (penyair) dalam Festival Seni Bali Jani tahun 2023. Menurut Ibu, apa arti dari penghargaan-penghargaan ini, khususnya ketika mendapat penghargaan Tempo 2023?
“Menambah energi saya dalam berkarya. Perhargaan merupakan apresiasi terhadap apa yang saya kerjakan dan suarakan selama ini. Dan saya sangat berterima kasih untuk itu.”
***
- Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-79 - 6 Agustus 2024
- Sastrawan dan Penulis Payakumbuh Tolak Masuknya “Satu Pena” ke Payakumbuh - 14 Juli 2024
- Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 H - 9 April 2024